FAJAR.CO.ID, SURABAYA — Kasus pengusiran paksa yang dialami nenek Elina Widjajanti (80) dari rumahnya oleh sekelompok organisasi masyarakat (ormas) menyita perhatian publik.
Selain membuat publik geram, aparat pemerintah juga ikut bereaksi. Salah satunya datang dari Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi.
Eri Cahyadi dengan tegas menyatakan bahwa segala perselisihan harus diselesaikan lewat hukum, bukan main hakim sendiri.
“Apapun status kepemilikan rumah tersebut, jika ada sengketa, penyelesaiannya harus melalui proses hukum. Negara kita adalah negara hukum, dan semua pihak harus menghormatinya,” tuturnya, Minggu (28/12).
Diketahui, Nenek Elina Widjajanti diusir secara paksa dari rumahnya sendiri yany berada di Jalan Dukuh Kuwuhan 27, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep.
Kasus ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat, setelah detik-detik ormas menyeret paksa Nenek Elina, terekam kamera warga dan viral di media sosial.
Eri menekankan tindakan main hakim sendiri, apalagi disertai kekerasan, tidak dapat dibenarkan dalam sistem hukum, terlepas dari seberapa kuat klaim kepemilikan atas suatu properti.
“Sekalipun salah satu pihak mengantongi bukti kepemilikan yang sah, penggunaan cara-cara kekerasan tetap tidak dapat ditoleransi. Seluruh sengketa harus diselesaikan melalui koridor dan mekanisme hukum yang berlaku,” imbuh Eri.
Pemkot Surabaya berjanji akan mengawal penanganan kasus Nenek Elina hingga tuntas, seperti kasus-kasus perselisihan sebelumnya. Salah satunya kasus penahanan ijazah yang juga sempat menjadi pemberitaan nasional.
“Surabaya selalu mengedepankan prinsip yang salah dibenahi, yang benar dipertahankan, berdasarkan hukum. Ini bentuk konsistensi pemerintah kota dalam menegakkan aturan dan menjaga kepercayaan warga,” tukas Eri.
Sebelumnya, peristiwa tak menggenakkan dialami oleh Nenek Elina dan keluarga. Pada 6 Agustus 2025, rumah yang sudah lama mereka tempati tiba-tiba didatangi oleh sekelompok orang.
Mereka meminta Nenek Elina dan keluarga untuk angkat kaki dari rumah tersebut, lantaran sudah dibeli oleh seseorang bernama Samuel. Namun, Nenek Elina enggan pergi karena merasa tidak menjual rumah.
Alih-alih pergi, sekelompok laki-laki yang diduga dari salah satu organisasi masyarakat (ormas) justru mengusir Nenek Elina secara paksa. Momen pengusiran terekam kamera dan viral di media sosial.
“Ini rumahnya saya, bukan rumahnya orang. Ini rumahnya siapa? Ini rumahnya saya? Mana suratnya? Saya kan sudah tunjukkan surat (rumah) saya,” protes Nenek Elina, sebelum akhirnya dipaksa keluar dari rumahnya.
Kemudian pada 9 Agustus 2025, bangunan rumah Nenek Elina disegel menggunakan kayu dan besi, yang membuat pihak keluarga tak bisa masuk. Tak lama, rumah tersebut dirobohkan menggunakan alat berat eskavator.
Atas peristiwa tersebut, Nenek Elina membuat laporan ke SPKT Mapolda Jatim pada Rabu, 29 Oktober 2025. Laporan tersebut tercatat dengan Nomor LP/B/1546/X/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR.
Dalam laporan itu, Nenek Elina melaporkan ormas dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana pengerusakan atau kekerasan secara bersama-sama. (fajar)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5456723/original/047344800_1766926659-WhatsApp_Image_2025-12-28_at_19.51.38.jpeg)
