Perkembangan media digital telah melahirkan budaya viral yang mempengaruhi cara masyarakat merespons peristiwa sosial. Banyak kejadian di sekitar kita tidak lagi dilihat dari sisi kemanusiaan, melainkan dari potensi popularitas di media sosial. Dalam budaya ini, empati sering kali dikalahkan oleh keinginan untuk mendapatkan perhatian.
Fenomena tersebut terlihat ketika peristiwa tragis justru direkam dan disebarkan tanpa mempertimbangkan dampak terhadap korban. Alih-alih memberikan pertolongan, sebagian orang lebih memilih mengabadikan momen demi konten. Tindakan ini menunjukkan pergeseran nilai, di mana sensasi menjadi lebih penting daripada kepedulian.
Budaya viral juga mendorong masyarakat untuk memberikan penilaian secara instan. Tanpa memahami konteks, individu atau kelompok dapat dengan mudah dihakimi oleh publik. Tekanan sosial yang muncul dari viralitas sering kali berujung pada perundungan digital dan kerusakan psikologis.
Lunturnya empati sosial tidak dapat dilepaskan dari kurangnya kesadaran etika digital. Media sosial sejatinya dapat menjadi alat solidaritas dan advokasi, namun tanpa tanggung jawab, ia justru memperkuat sikap apatis. Algoritma yang mengutamakan interaksi tinggi turut memperparah kondisi ini.
Untuk itu, budaya viral perlu diimbangi dengan kesadaran moral. Masyarakat harus kembali menempatkan nilai empati sebagai dasar dalam berinteraksi, baik di ruang digital maupun nyata. Tanpa empati, kemajuan teknologi justru akan menjauhkan manusia dari kemanusiaannya sendiri.
