Oleh: Herman Kajang*
Dalam beberapa hari terakhir, wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD kembali naik ke permukaan. Ia hadir dalam bentuk pernyataan elite partai, potongan diskusi di media, hingga kutipan yang berulang-ulang muncul di media daring dan linimasa: pemilu langsung dianggap terlalu mahal, melelahkan negara, dan tidak lagi efisien.
Narasi ini disampaikan seolah temuan baru, padahal sesungguhnya hanyalah gagasan lama yang kembali dipoles, dipresentasikan dengan bahasa krisis anggaran dan stabilitas politik. Dari titik inilah, lelucon politik itu kembali dimulai.
Ada satu lelucon politik yang terus dipelihara lintas periode, lintas rezim, dan lintas kepengurusan Partai Politik: pemilihan kepala daerah langsung itu mahal. Maka, demi efisiensi anggaran dan kepraktisan tata kelola—dua kata yang kini terdengar seperti jargon proyek—muncullah kembali gagasan lama: kepala daerah sebaiknya dipilih oleh DPRD saja.
Wacana ini tidak datang dari ruang hampa. Ia disuarakan, antara lain, oleh elite-elite di partai-partai mapan—Golkar yang selalu rindu stabilitas Orde Baru yang rapi, PKS yang kerap menyebut efisiensi dan rasionalitas politik, PAN yang mulai bicara soal beban fiskal daerah, hingga PPP yang menimbang ulang “kemaslahatan” sistem demokrasi langsung. Kadang disampaikan tegas, kadang setengah berbisik, tapi arahnya sama: rakyat cukup menyaksikan, DPRD yang menentukan.
Lucunya, lelucon ini disampaikan dengan wajah serius oleh pihak-pihak yang selama ini justru menjadi produsen utama mahalnya ongkos politik.
Praktik Mahar
Jauh sebelum Pemilu digelar, meteran biaya sudah diputar kencang. Calon kepala daerah yang ingin diusung partai—entah oleh Golkar, PKS, PAN, PPP, atau partai lain yang ikut mengangguk diam-diam—harus melewati loket bernama mahar politik. Tidak cukup sekadar membawa gagasan dan rekam jejak; koper juga wajib hadir. Rekomendasi partai berubah fungsi menjadi barang niaga, lengkap dengan tarif yang bisa menyesuaikan survei dan popularitas.
Setelah karcis dibeli, pesta demokrasi pun dimulai. Kampanye dilakukan jor-joran. Baliho tumbuh lebih cepat dari pohon, spanduk menutup pagar warga, konser politik digelar bak hajatan akbar. Partai-partai tampil sebagai event organizer ulung, menggerakkan mesin sampai ke dusun-dusun, sambil menutup mata pada satu hal bajwa semua itu mahal, dan mahalnya bukan untuk pendidikan politik, tapi lebih pada hura-hura.Belum cukup?
Maka tibalah pada bab paling jujur tapi paling munafik: serangan fajar. Amplop berpindah tangan menjelang subuh, disebut sebagai uang transport, uang kopi, atau sekadar “tanda kasih”. Money politics menjadi rahasia umum, dipraktikkan secara sistematis, dan sering kali dinormalisasi oleh struktur partai sendiri.
Anehnya, ketika praktik ini menjamur, yang disalahkan tetap sistem Pemilu langsung, bukan aktor-aktor kotor kader partai yang memainkannya. Lalu setelah semua uang ditebar bersama, partai-partai itu berdiri di mimbar wacana dan berkata, “Lihat, Pemilu langsung itu mahal.”
Padahal yang mahal bukan Pemilunya, melainkan keserakahan yang mereka normalkan dan jadikan tata kelola, sehingga setiap proses demokrasi selalu terasa mahal karena sejak awal diperlakukan sebagai ladang transaksi, bukan ruang pengabdian kepada rakyat.
Misi Terselubung
Kini, ketika kepercayaan publik menurun dan politik makin terasa transaksional, wacana pemilihan lewat DPRD kembali dipoles. Golkar menyebutnya lebih stabil, PKS menamainya lebih efisien, PAN mengaitkannya dengan beban anggaran, PPP membungkusnya dengan bahasa maslahat.
Semua terdengar bijak, seolah lupa bahwa DPRD itu juga hasil dari Pemilu mahal—dengan ongkos, mahar, dan transaksi yang tidak kalah rumit.Kalau kepala daerah dipilih DPRD, rakyat cukup menonton dari tribun.
Demokrasi dipangkas agar tampak ramping, padahal yang terjadi hanyalah pemindahan meja transaksi: dari serangan fajar ke serangan lobi, dari amplop ke map proposal, dari rakyat ke segelintir elite fraksi. Lebih ringkas, iya. Lebih murah? Belum tentu. Lebih bersih? Itu lelucon yang lain lagi.
Partai-partai yang paling lantang mengeluh soal mahalnya Pemilu adalah mereka yang paling piawai menjadikannya ladang bisnis. Mereka yang menetapkan mahar, mereka yang menghalalkan kampanye boros, mereka yang membiarkan politik uang, lalu mereka pula yang menawarkan solusi dengan mencabut hak rakyat memilih langsung.
Akhirnya, wacana ini terdengar bukan sebagai upaya memperbaiki demokrasi, melainkan cara elegan untuk mengonsolidasikan kembali kuasa. Rakyat diminta percaya bahwa pengurangan hak pilih adalah penghematan, bahwa demokrasi cukup diwakilkan, dan bahwa masalahnya ada pada sistem Pemilu bukan pada perilaku kotor kader partai.
Mungkin benar Pemilu langsung itu mahal. Tetapi jauh lebih mahal harga demokrasi jika ia diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang sejak awal memperlakukannya sebagai bisnis politik—ruang tawar-menawar kepentingan dan ongkos kekuasaan—bukan sebagai amanah rakyat yang harus dijaga, dirawat, dan dipertanggungjawabkan. (*)
*Penulis adalah aktivis Kopel Indonesia





