JAKARTA, KOMPAS.com - Laju pembangunan Jakarta yang pesat menjadi magnet bagi warga dari berbagai daerah untuk mencoba peruntungan.
Deretan gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan megah, gemerlap hiburan malam, hingga peluang kerja yang beragam seolah mudah dijumpai di setiap sudut kota.
Jalan-jalan lebar, kawasan hunian elite, serta apartemen modern menjadi bagian dari wajah Jakarta yang sering dipertontonkan.
Namun di balik kemilau tersebut, Jakarta menyimpan sisi lain yang kerap luput dari perhatian.
Baca juga: Jerit Hati Para Anak Fatherless: Kehilangan Sosok Ayah Sangat Berat
Di tengah kota, lorong-lorong sempit masih menjadi ruang hidup sebagian warganya.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=indepth, gang sempit jakarta, rumah petak jakarta, kampung rawa johar baru, urbanisasi paksa jakarta&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yOS8xMDIxMjkwMS9raXNhaC1taW5haC1oaWR1cC1kaS1ydW1haC1zZXBldGFrLWRhbi1nYW5nLWdlbGFwLWpha2FydGE=&q=Kisah Minah Hidup di Rumah Sepetak dan Gang Gelap Jakarta§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Gang-gang yang lebarnya tak sampai satu meter memaksa orang yang melintas untuk menyesuaikan langkah, bahkan memiringkan badan.
Kondisi itu tampak jelas di sebuah permukiman Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat.
Di Kampung Rawa, salah satu gang tampak gelap sepanjang hari, nyaris tanpa sentuhan cahaya.
Seolah sinar matahari tak mampu menembus rapatnya bangunan di kanan dan kiri lorong.
Deretan rumah saling berhadapan dengan jarak yang amat sempit, bahkan setiap orang harus melaju perlahan untuk bisa melintas. Ruang gerak nyaris tak tersisa.
Aroma lembap tercium di sepanjang gang akibat minimnya pencahayaan dan sirkulasi udara.
Banyak pintu rumah dibiarkan terbuka, menjadi satu-satunya cara agar angin bisa masuk ke dalam ruangan.
Dari lorong itu, aktivitas penghuni rumah petak dapat terlihat dengan mudah.
Kehidupan berlangsung dalam jarak yang sangat dekat.
Baca juga: Di Balik Gedung Pencakar Langit, Kampung Kebon Melati Bertahan dengan Ruang Hijau
Di salah satu rumah sepetak berukuran 3x4 di gang tersebut, Minah, perempuan berusia 54 tahun, menjalani hidupnya.
Rumah itu bukan sekadar tempat berteduh, melainkan saksi perjalanan hidupnya sejak muda hingga kini.
Ruang sempit dengan dinding yang sebagian masih menumpang bangunan tetangga itu telah menjadi bagian dari identitasnya sebagai warga kota yang bertahan di tengah keterbatasan.
Dinding rumah dengan cat yang mulai pudar membingkai ruang tinggal tersebut.
Di tempat sederhana itulah ia beristirahat, berdiam, sekaligus menghabiskan waktu luangnya.
Bertahan Sejak Usia Muda di Rumah SepetakMinah bukan pendatang baru di permukiman tersebut. Ia lahir dan tumbuh di lingkungan itu.
Namun, rumah yang kini ditempatinya bukanlah rumah masa kecil yang luas dan lapang.
Tempat tinggalnya sekarang adalah hasil dari keputusan pahit yang harus diambil keluarganya puluhan tahun lalu.
Saat itu, Minah masih berusia belasan akhir menuju dua puluhan.
Keluarganya menghadapi situasi darurat ketika sang ibu harus dirawat di rumah sakit.
Di masa itu, jaminan kesehatan belum tersedia seperti sekarang.
Baca juga: 1.392 Personel Gabungan Dikerahkan Jaga Demo Buruh di Jakarta
Biaya pengobatan menjadi beban besar yang tak terelakkan.
“Saya di sini udah dari lahir. Dari rumah saya yang ke depan tuh, ibu kan dirawat, kan gak pake BPJS kan dulu. Jadi itu buat nebus ibu dijual nih rumahnya yang depan Jadi saya nempatin ini segini sepetak," ujar dia saat ditemui Kompas.com, Jumat (26/12/2025).
Keputusan menjual rumah yang lebih layak menjadi titik balik dalam hidup Minah.
Sejak saat itu, ia menetap di rumah sepetak yang kini ia huni.
Rumah kecil tersebut menjadi tempat bertahan, tumbuh dewasa, dan menua bersama anak-anaknya.
Puluhan Tahun MenetapSeiring waktu, usia Minah bertambah, tetapi tempat tinggalnya tak pernah berubah.
Ia tetap tinggal di rumah yang sama, tak berpindah, tanpa memiliki pilihan lain yang lebih baik.
Sejak usia muda hingga kini, Minah menjalani hidupnya di ruang yang sama.
Baca juga: Dari Bank Sampah hingga Maggot, Cara Warga Kebon Melati Kurangi Limbah dari Rumah
Ia dan rumah tersebut menjadi satu-satunya tempat yang ia anggap aman untuk bertahan.
“Waktu itu saya masih umur 20 tahun. Berarti udah 34 tahun tahun saya di sini, waktu belum punya suami," kata dia.
Puluhan tahun berlalu, gang semakin padat, bangunan semakin tinggi, dan ruang hidup Minah kian terjepit. Namun, Minah tetap bertahan di tempat itu.
Pada awalnya, rumah sepetak itu dihuni Minah bersama kedua orang tuanya.




