Wajib Belajar 13 Tahun Masih Jauh dari Tujuan

kompas.id
8 jam lalu
Cover Berita

Satu tahun berlalu sejak pemerintah mencanangkan misi wajib belajar 13 tahun dengan pesan besar, yakni pendidikan harus dimulai lebih dini, bahkan sebelum anak memasuki jenjang sekolah dasar. Pendidikan anak usia dini jadi fondasi utama membangun mutu sumber daya manusia Indonesia demi menggapai mimpi Indonesia Emas 2045.

Penguatan pendidikan pra-SD mulai terlihat. Pemerintah pusat dan daerah menggencarkan sosialisasi pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD), mendorong partisipasi sekolah, serta memperluas akses layanan pendidikan anak usia dini. Program transisi PAUD ke SD yang menyenangkan hingga Program Indonesia Pintar PAUD diupayakan.

Namun, capaian kebijakan ini jauh dari tujuan. Data partisipasi PAUD tak merata, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Banyak anak usia dini belum tersentuh layanan pendidikan bermutu karena akses terbatas, fasilitas minim, dan tenaga pendidik belum memadai.

Di masyarakat, sebagian orangtua memandang PAUD sebagai pelengkap, bukan kebutuhan. Ada pula yang menganggap pendidikan dini hanya soal calistung (membaca, menulis, berhitung).

Padahal, esensi PAUD adalah membangun karakter, kemandirian, dan kesiapan belajar anak secara holistik. Belum lagi masalah impitan ekonomi yang memaksa orangtua melewatkan PAUD untuk anaknya.

Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia Betti Nuraini menjelaskan, akar masalah ini di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dua UU yang jadi motor penggerak pendidikan ini membedakan PAUD formal dan PAUD nonformal.

RUU Sisdiknas harus selesai tahun depan.

Dikotomi ini membuat semua ketentuan penyelenggaraan PAUD menjadi rancu. Misalnya, kebijakan pemerintah baru mengakomodasi kebutuhan PAUD Formal seperti Taman Kanak-Kanak, sedangkan PAUD Non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), dan Satuan PAUD Sejenis (SPS) seringkali luput dari perhatian.

"Ini ada kesalahan kebijakan dari pemerintah. Di luar negeri, di negara mana pun, tak ada bedanya formal dan non-formal, yang ada semuanya PAUD. Kalau (UU) tak berubah, jangan berharap fondasi pendidikan akan kuat," kata Betti, pada Selasa (30/12/2025).

Padahal PAUD Non-formal berpotensi memperluas akses layanan bagi anak usia dini, terutama di desa atau kelurahan yang belum terlayani PAUD. Data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 2024 mencatat, jumlah desa yang tak memiliki PAUD formal 29.830 desa.

Sementara di antara puluhan ribu desa tersebut terdapat pos PAUD yang biasanya terintegrasi dengan layanan posyandu dan bina keluarga balita, jumlahnya 17.267 pos PAUD. Dengan memperkuat layanan PAUD nonformal, upaya pemenuhan wajib belajar 13 tahun dapat lebih merata.

"Kebayang nggak ketika pendidikan kita di-dikotomi selama 20 tahun dan 22 tahun, padahal itu fondasi yang terpenting malah mendapatkan perlakuan dikotomi yang tidak setara," ucapnya.

Baca JugaPAUD Bukan Sekadar Calistung, Bangun Perilaku Positif sejak Dini  

Betti menegaskan, PAUD sangat penting karena 80 persen perkembangan otak manusia terjadi pada usia 0-8 tahun, bahkan sudah mencapai 50 persen pada usia 0-4 tahun. Ini adalah usia yang sangat krusial untuk stimulasi atau yang disebut dengan usia emas.

Untuk itu, pemerintah dan DPR harus menuntaskan Revisi UU Sistem Pendidikan Nasional yang terintegrasi dengan UU Guru dan Dosen. Di dalam regulasi itu mesti mengakomodasi Hak Profesi Guru PAUD Non-Formal agar kualifikasi, kompetensi, kesejahteraan, perlindungan hukum bagi guru menjadi terjamin.

Seluruh Guru PAUD (taman kanak-kanak, kelompok bermain, satuan PAUD sejenis, dan taman pendidikan Alqur’an) yang memenuhi kriteria berhak mengikuti sertifikasi dan hak profesi lainnya yang diatur perundang-undangan.

"Dan yang terpenting adalah, tidak ada lagi pembagian formal dan non formal pada PAUD berdasarkan kelompok satuan PAUD. RUU Sisdiknas harus selesai tahun depan (2026)," ujar Betti.

Satu desa, satu PAUD

Di sisi lain, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah juga mengusulkan tidak ada lagi dikotomi formal dan nonformal dalam RUU Sisdiknas. Semua akan dijadikan satu, yakni satuan PAUD.

Selain itu Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti pun menegaskan, program wajib belajar 1 tahun prasekolah dapat berjalan dengan dua fokus utama yaitu pendirian Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di setiap desa dan peningkatan kualitas guru PAUD.

"Wajar 13 tahun dimulai dari TK dan target kami satu desa minimal satu TK," tekan Mu`ti dalam keterangan pers, 21 Desember 2025.

Dia menjelaskan program "Satu Desa Satu PAUD" merupakan gerakan nasional demi memastikan tiap desa di Indonesia memiliki minimal satu lembaga PAUD bermutu. Hal ini untuk pemerataan akses pendidikan dini, pencegahan tengkes atau stunting, pengembangan karakter anak, serta meningkatkan kualitas manusia sejak usia emas.

Adapun pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat desa diminta terlibat dengan mengoptimalkan dana desa untuk sarana prasarana, pelatihan guru, dan operasional.

Baca JugaPAUD Masih Dipandang Sebelah Mata

Mulai tahun 2026, murid-murid TK juga akan menerima Program Indonesia Pintar (PIP) sebesar Rp 450.000. Program ini menjangkau sekitar 888.000 peserta didik TK di seluruh Indonesia, merujuk pada data murid TK yang layak mendapatkan PIP.

"Tahun depan dana tersebut akan ditransfer langsung ke rekening peserta didik," ucapnya.

Saat dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Hetifah Sjaifudian menjelaskan, sepanjang Tahun 2025 mereka masih menyusun naskah akademik dan draft RUU Sisdiknas.

Rancangn Undang Undang ini disusun dengan pendekatan kodifikasi, yakni mengintegrasikan tiga undang-undang utama (UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi) ke dalam satu kerangka hukum yang lebih utuh dan terpadu.

"Target ke depan, pada awal Tahun 2026 RUU Sisdiknas diharapkan dapat memasuki tahap pengharmonisasian di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, sebelum dilanjutkan ke tahap pembahasan formal bersama pemerintah," kata Hetifah, pada Selasa (30/12/2025).

Saat dibahas bersama pemerintah nanti, RUU ini diharapkan dapat mengakomodasi berbagai aspirasi strategis, antara lain penguatan perlindungan dan kesejahteraan guru, kejelasan mandatory spending pendidikan 20 persen, penguatan pendidikan tinggi, serta kesetaraan antara perguruan tinggi negeri dan swasta.

Baca JugaWajib Belajar 13 Tahun Akan Menambah Biaya Pendidikan

Dengan demikian, Wajib belajar 13 tahun sejatinya bukan sekadar menambah satu jenjang pendidikan dalam kebijakan nasional. Ini adalah investasi jangka panjang yang menuntut konsistensi, kolaborasi, dan keseriusan lintas sektor.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Istri yang Dianiaya Suami di Depok Bakal Dapat Pendampingan Psikologis
• 4 jam lalukompas.com
thumb
Prabowo Sudah Teken KUHAP Baru, Berlaku Bersamaan KUHP Mulai Januari 2026
• 19 jam lalukatadata.co.id
thumb
Pemerintah Papua Selatan Perluas Cakupan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
• 17 jam lalurepublika.co.id
thumb
Gempa 3,4 Magnitudo Mengguncang Pidie Jaya, Aceh
• 15 jam lalukumparan.com
thumb
Berjuang Bangkit dari Cedera, Atlet Lempar Lembing Asal Sumut Jawab Keraguan dengan Emas SEA Games
• 2 jam lalurepublika.co.id
Berhasil disimpan.