Pantau - Ketidakpastian cuaca ekstrem di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi cerminan nyata bahwa perubahan iklim bukan lagi prediksi masa depan, melainkan kenyataan yang menuntut perubahan dalam kebijakan dan tata kelola risiko bencana.
Artikel opini yang ditulis Abdul Hakim dan dimuat oleh ANTARA pada 30 Desember 2025 mengulas bagaimana dinamika cuaca kini telah keluar dari pola yang lazim dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Tiga Bibit Siklon Tropis, Ketidakpastian Cuaca, dan DampaknyaSepanjang bulan Desember, NTB menghadapi cuaca tak menentu yang dipicu oleh kemunculan tiga bibit siklon tropis berturut-turut: 97S, 93S, dan 96S.
Dampaknya meliputi cuaca ekstrem seperti hujan lebat mendadak, petir, angin kencang di atas 35 km/jam, serta gelombang laut tinggi hingga 2,5 meter.
Cuaca ekstrem ini memukul banyak sektor: petani kesulitan menentukan waktu tanam, nelayan kehilangan hari melaut, pendapatan masyarakat pesisir menurun, hingga pariwisata yang terganggu akibat ketidakpastian cuaca.
Kondisi drainase perkotaan yang belum siap juga menyebabkan banjir, longsor, banjir rob, serta gangguan transportasi dan pohon tumbang di berbagai titik.
Ubah Pola Pikir: Dari Responsif ke AdaptifPenulis menegaskan bahwa cuaca ekstrem bukan lagi peristiwa luar biasa, melainkan sebuah pola baru yang menuntut perubahan pendekatan.
"Cuaca ekstrem bukan peristiwa luar biasa lagi — ini pola baru," tulis Abdul Hakim.
Negara dan pemerintah daerah didorong untuk berhenti bersikap reaktif dan mulai bertransformasi menjadi adaptif, dengan fokus pada pencegahan dan kesiapsiagaan.
Ketahanan, menurut penulis, seharusnya tidak lagi dinilai dari kecepatan pulih pascabencana, melainkan dari seberapa siap masyarakat dan institusi menghadapi risiko sebelum bencana datang.
Rekomendasi Strategis untuk Ketahanan IklimArtikel ini memberikan lima rekomendasi utama:
Edukasi publik yang masif, agar masyarakat memahami dan merespons peringatan dini secara tepat.
Penguatan infrastruktur adaptif, seperti sistem drainase baru, perlindungan daerah resapan, dan penataan ruang berbasis risiko.
Diversifikasi ekonomi, agar masyarakat tidak hanya menggantungkan diri pada sektor rentan cuaca seperti pertanian dan perikanan.
Penggunaan data meteorologi dalam perencanaan kebijakan, bukan hanya sebagai alat prediksi.
Adaptasi jangka panjang di wilayah pesisir, pegunungan, dan daerah aliran sungai (DAS), yang menjadi kawasan paling rawan.
Penulis juga menyoroti kelemahan sistem saat ini, seperti lemahnya koordinasi antarinstansi, keterlambatan dalam menindaklanjuti peringatan dini, serta kecenderungan kebijakan yang menunggu dampak sebelum bertindak.
Seruan Penutup: Cuaca Berubah, Kebijakan Juga Harus BerubahDi akhir tulisan, Abdul Hakim mengingatkan bahwa perubahan iklim telah hadir, dan cuaca tak lagi bisa diprediksi dengan cara lama.
"Jika cuaca tak lagi bisa diprediksi dengan cara lama, maka kebijakan pun harus berani berubah," tegasnya.
Ketika cuaca kehilangan pola, masyarakat tidak boleh kehilangan arah. Kesiapan mental, tata kelola risiko, dan kepemimpinan daerah akan menentukan seberapa tangguh Indonesia menghadapi iklim yang semakin ekstrem.

/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fphoto%2Fori%2F2022%2F11%2F24%2Fc168926b-19cb-4fa7-b4e8-86ed70af58cd.jpg)
