Psikiater Memperingatkan: Percakapan Jangka Panjang dengan Chatbot AI  Dapat Memicu Kasus Gangguan Mental

erabaru.net
2 jam lalu
Cover Berita

Sejumlah dokter terkemuka di bidang psikiatri menilai bahwa penggunaan chatbot AI dalam jangka panjang berpotensi terkait dengan kasus psikosis. Dalam beberapa bulan terakhir, para pakar ini menelaah puluhan kasus pasien yang mengalami gejala gangguan mental setelah terlibat dalam percakapan panjang dan sarat delusi dengan alat obrolan AI. Meskipun sebagian besar pengguna chatbot tidak mengalami masalah kesehatan mental, luasnya penggunaan AI sudah cukup untuk menimbulkan kekhawatiran di kalangan dokter.

EtIndonesia. The Wall Street Journal melaporkan bahwa sejak musim semi tahun ini, telah muncul puluhan kasus yang diduga terkait, di mana pasien menunjukkan gejala psikosis delusional setelah melakukan percakapan berkepanjangan dengan ChatGPT milik OpenAI dan chatbot lainnya. 

Dilaporkan, beberapa di antaranya meninggal dunia akibat bunuh diri, dan setidaknya terjadi satu kasus pembunuhan. Peristiwa-peristiwa ini memicu serangkaian gugatan hukum. Para dokter dan akademisi terus mencatat serta meneliti berbagai kasus yang terjadi.

Psikiater Keith Sakata dari Universitas California, San Francisco, mengatakan bahwa ia telah merawat 12 pasien rawat inap dan 3 pasien rawat jalan yang mengalami psikosis yang dipicu oleh AI. 

Menurut Sakata, teknologi AI itu sendiri mungkin tidak secara langsung menimbulkan delusi, namun pasien sering kali menyampaikan realitas versi mereka kepada komputer, lalu komputer menerimanya sebagai kebenaran dan memantulkannya kembali kepada pengguna, sehingga memperkuat lingkaran delusi tersebut.

Saat ini, belum ada definisi resmi mengenai psikosis yang dipicu oleh AI. Para dokter menjelaskan bahwa psikosis umumnya memiliki tiga ciri utama:

  1. halusinasi,
  2. gangguan dalam berpikir atau berkomunikasi,
  3. delusi.

Dalam banyak kasus terbaru yang melibatkan chatbot, delusi menjadi gejala utama.

Delusi tersebut sering kali sangat berlebihan, misalnya pasien meyakini bahwa mereka telah mencapai terobosan ilmiah, membangkitkan mesin yang memiliki kesadaran, menjadi tokoh kunci dalam konspirasi pemerintah, atau dipilih oleh Tuhan. Hal ini sebagian disebabkan oleh kecenderungan chatbot untuk menyetujui atau mengiyakan pengguna, serta mengembangkan respons secara improvisatif berdasarkan input pengguna.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa kini Sakata dan para dokter lainnya menambahkan pertanyaan tentang penggunaan AI dalam proses anamnesis, serta mendorong lebih banyak penelitian terkait.

Sebuah studi dari Denmark yang dipublikasikan bulan lalu menemukan bahwa 38 pasien yang menggunakan chatbot AI mungkin mengalami dampak merugikan terhadap kesehatan mental mereka.

Teknologi sejak lama menjadi fokus berbagai delusi—di masa lalu, ada orang yang percaya bahwa televisi sedang berbicara kepada mereka. Namun para dokter menilai bahwa kasus-kasus yang berkaitan dengan AI saat ini berbeda, karena chatbot tidak hanya terlibat dalam proses delusi, tetapi kadang justru memperkuat delusi tersebut.

“Mereka meniru hubungan antarmanusia,” kata Adrian Preda, profesor psikiatri dari Universitas California, Irvine.

 “Dalam sejarah manusia, belum pernah ada sesuatu yang mampu melakukan hal seperti ini,” jelasnya. (Hui)

Diterjemahkan dan dilaporkan oleh Jin Jing / Editor Fan Ming


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kemenko PM Dorong Masyarakat Naik Kelas Lewat Program Miskin Ekstrem Pasti Kerja
• 22 jam lalukumparan.com
thumb
China Protes Penghancuran Monumen Kontribusi Tiongkok di Terusan Panama, Desak Rekonstruksi dan Investigasi
• 12 jam lalupantau.com
thumb
Foto: Produksi Arang Kayu Meningkat Jelang Tahun Baru di Semarang
• 14 menit lalukumparan.com
thumb
Prasetyo Hadi Nilai Pilkada Secara Langsung Banyak Sisi Negatifnya
• 13 jam lalugenpi.co
thumb
Lee Sung Kyung Bagikan Momen Jalan-jalan Cantik di Akhir Tahun 2025
• 6 jam lalubeautynesia.id
Berhasil disimpan.