Bantuan Buku untuk Bencana

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Bencana berdampak langsung pada kehidupan anak-anak di pengungsian. Mereka kehilangan rumah, sekolah, dan rutinitas harian. Aktivitas belajar terhenti.

Di lokasi pengungsian, anak-anak menghabiskan waktu dalam kondisi serba terbatas. Ruang belajar tidak tersedia. Kegiatan harian tidak terstruktur.

Negara umumnya hadir melalui bantuan logistik dasar. Pangan, sandang, dan layanan kesehatan menjadi prioritas. Namun kebutuhan anak-anak tidak hanya bersifat fisik. Mereka juga membutuhkan aktivitas sosial yang terkelola agar keseharian tetap berjalan selama masa darurat.

Tulisan ini tidak membahas pendekatan psikologis atau terapi klinis. Fokusnya adalah literasi sebagai bagian dari respons kemanusiaan. Buku dan kegiatan membaca bersama dipandang sebagai sarana aktivitas sosial yang sederhana dan dapat diterapkan di pengungsian.

Pengalaman penanganan bencana di Aceh menunjukkan bahwa literasi belum terintegrasi dalam desain respons darurat. Kegiatan membaca lebih banyak hadir melalui inisiatif relawan. Persoalannya bukan pada niat, melainkan pada belum adanya rancangan yang jelas.

Literasi sebagai Kebutuhan Sosial Anak

Dalam situasi darurat, perhatian utama memang tertuju pada pemenuhan kebutuhan fisik. Pendekatan ini dapat dipahami. Namun bagi anak-anak, kebutuhan sosial juga menjadi bagian penting dari keberlanjutan hari-hari mereka di pengungsian.

Ketiadaan aktivitas terstruktur membuat anak-anak menghabiskan waktu tanpa arah. Sekolah terhenti. Ruang bermain terbatas. Kegiatan belajar tidak berjalan.

Literasi dapat berperan pada tahap ini. Kali ini saya ingin melihat bukan sebagai terapi psikologi, tetapi sebagai aktivitas sosial yang terkelola. Membaca bersama, mendengarkan cerita, atau melihat buku merupakan kegiatan yang mudah diterapkan dan tidak memerlukan sarana rumit.

Buku memberi anak-anak aktivitas yang dikenali. Kegiatan dapat dilakukan secara berkelompok. Waktu pengungsian menjadi lebih terisi. Interaksi antar anak tetap terjaga.

Dalam konteks ini, literasi tidak dimaksudkan untuk menggantikan layanan psikososial. Literasi berfungsi sebagai pengisi aktivitas harian yang sederhana dan aman. Pendekatan ini relevan diterapkan pada fase darurat.

Masalahnya, literasi belum diposisikan sebagai bagian dari respons resmi penanganan bencana. Tanpa desain yang jelas, kegiatan ini sulit berjalan secara berkelanjutan.

Keterbatasan di Lapangan: Pelajaran dari Aceh

Di Aceh, kegiatan literasi di pengungsian menghadapi banyak keterbatasan. Relawan bergerak dengan sumber daya terbatas. Jumlah anak tidak sebanding dengan jumlah buku yang tersedia.

Buku yang dibawa relawan sering kali hanya cukup untuk kegiatan singkat. Pemanfaatannya bergantian. Tidak semua anak dapat terlayani secara bersamaan.

Akses ke sumber donasi buku juga tidak mudah. Donatur umumnya berada di luar daerah terdampak. Dalam situasi darurat, distribusi dan komunikasi menjadi kendala.

Kondisi ini diperberat oleh rusaknya sumber literasi lokal. Taman bacaan masyarakat, perpustakaan desa, dan perpustakaan sekolah di wilayah terdampak tidak dapat digunakan. Banyak koleksi terendam atau rusak.

Di daerah yang berdekatan dengan wilayah terdampak, buku sebenarnya masih tersedia. Namun koordinasi pemanfaatan lintas wilayah sulit terbentuk. Tidak ada pihak yang tampil memimpin koordinasi tersebut. Akibatnya, ketersediaan buku tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

Di titik inilah terlihat bahwa persoalan bantuan buku dalam bencana bukan terletak pada ketersediaan, melainkan pada kepemimpinan dan desain koordinasi.

Dilema Perpustakaan Pemerintah

Perpustakaan pemerintah berada pada posisi yang tidak sederhana. Buku yang dikelola perpustakaan pemerintah merupakan Barang Milik Negara. Buku diklasifikasikan sebagai aset tetap, bukan barang persediaan.

Status ini memiliki konsekuensi langsung. Buku tidak dirancang untuk dipindahkan secara cepat. Pemanfaatannya terikat pada lokasi dan tujuan pengadaan.

Pengadaan buku pemerintah umumnya bersifat spesifik. Buku dibeli untuk ditempatkan di perpustakaan tertentu atau didistribusikan sebagai bantuan langsung ke lokus tertentu. Dalam skema ini, hampir tidak tersedia stok cadangan untuk kondisi darurat.

Kadang terdapat buku donasi yang tidak memenuhi kriteria koleksi. Jumlahnya terbatas. Buku jenis ini tidak dirancang untuk kebutuhan pengungsian skala besar.

Dalam situasi bencana di Aceh, permintaan bantuan buku untuk kegiatan literasi di titik pengungsian datang dari berbagai pihak. Permintaan ini mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan. Namun pada saat yang sama, banyak perpustakaan di wilayah terdampak juga mengalami kerusakan, sementara tata kelola buku pemerintah tidak dirancang untuk tanggap darurat. Tidak semua kebutuhan dapat dijawab secara cepat dan merata. Di sinilah terlihat jarak antara kebutuhan lapangan dan desain kebijakan yang tersedia.

Bantuan Buku Bukan Bantuan Sekali Pakai

Dalam penanganan bencana, semua bantuan sering diperlakukan dengan cara yang sama. Buku yang tiba di posko satgas kerap diperlakukan seperti bantuan konsumsi. Diterima, dimuat, lalu dibagikan.

Pendekatan ini menimbulkan persoalan. Buku bukan barang sekali pakai. Buku tidak dirancang untuk dihabiskan dalam satu waktu.

Ketika buku langsung dibagikan kepada anak-anak, pemanfaatannya tidak terkelola. Tidak ada pendampingan membaca. Tidak ada pengaturan penggunaan. Kondisi buku tidak terjaga.

Bantuan buku seharusnya diperlakukan berbeda. Buku perlu dikelola sebagai alat kegiatan. Digunakan dalam aktivitas membaca bersama dan diputar pemanfaatannya.

Peran satgas menjadi penting. Satgas tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga mengelola penggunaannya. Buku dapat dibawa secara berpindah antar titik pengungsian atau ditempatkan di satu lokasi dengan relawan pengelola.

Kerusakan Perpustakaan dan Pentingnya Pendataan

Bencana juga berdampak langsung pada perpustakaan. Banyak perpustakaan di wilayah terdampak mengalami kerusakan. Bangunan rusak. Koleksi terendam. Layanan berhenti.

Untuk perpustakaan pemerintah, jalur pemulihan relatif tersedia melalui skema anggaran. Prosesnya memang tidak cepat. Namun mekanismenya ada.

Kondisi berbeda dihadapi perpustakaan non-pemerintah. Taman bacaan masyarakat dan perpustakaan komunitas tidak memiliki dukungan anggaran rutin. Ketika rusak, pemulihan menjadi lebih sulit.

Dalam masa darurat, dorongan untuk segera merehabilitasi dapat dipahami. Namun dari sisi tata kelola, langkah ini belum tepat. Data kerusakan belum lengkap. Kondisi lapangan belum stabil.

Pada fase ini, inventarisasi menjadi langkah penting. Pendataan diperlukan sebagai dasar perencanaan pemulihan yang lebih terukur dan berkelanjutan.

Penutup

Pengalaman di Aceh menunjukkan bahwa literasi belum menjadi bagian dari desain respons bencana. Kegiatan membaca di pengungsian masih bergantung pada inisiatif relawan.

Buku bukan bantuan sekali pakai. Buku perlu dikelola agar dapat dimanfaatkan oleh lebih banyak anak. Pendekatan ini membutuhkan peran satgas dan dukungan kebijakan yang sederhana.

Keberpihakan negara terhadap literasi masyarakat terdampak bencana tidak ditentukan oleh kecepatan membagi buku. Keberpihakan ditunjukkan melalui desain yang memungkinkan literasi berjalan di masa darurat dan pulih secara berkelanjutan setelahnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kunjungan Wisata Kulon Progo Lesu Akibat Potensi Longsor di Menoreh
• 12 jam lalumetrotvnews.com
thumb
IHSG Diproyeksi Menguat, Investor Cermati Indikator Ekonomi RI 2026
• 13 jam lalukumparan.com
thumb
Klasemen Sementara Super League pekan ke-15: Sengit di Papan Atas!
• 12 jam lalumedcom.id
thumb
UHW Perbanas Baru, Sedia Beragam Beasiswa Hingga Kelas ABU
• 3 jam lalukumparan.com
thumb
Jelang Libur Tahun Baru 2026, Stasiun KRL Rangkasbitung Dipadati Penumpang
• 4 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.