Pilkada lewat DPRD, Calon Perseorangan Terancam Tersingkir

kompas.id
5 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS — Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah melalui DPRD berpotensi menghapus ruang politik bagi calon perseorangan. Jika kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, jalur calon independen diperkirakan akan kehilangan relevansi.

Padahal, jalur perseorangan merupakan salah satu produk penting dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Bahkan dalam praktiknya, calon perseorangan selalu hadir dan selalu ada yang memenangkan kontestasi dalam setiap gelombang pilkada.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, calon perseorangan telah muncul sejak Pilkada 2006. Pada pemilihan tersebut, pasangan Irwandi Yusuf–Muhammad Nazar yang maju dari jalur perseorangan memenangkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh 2006 dengan perolehan suara 38,42 persen.

Tren tersebut berlanjut setiap gelaran pilkada, termasuk ketika pilkada memasuki era pilkada serentak. Pada Pilkada Serentak 2015, sebanyak 135 pasangan calon perseorangan berkompetisi. Dari jumlah itu, 13 pasangan di antaranya berhasil memenangkan pilkada di tingkat kabupaten dan kota.

Pada Pilkada 2017, jumlah calon perseorangan menurun menjadi 68 pasangan, dengan tiga pasangan keluar sebagai pemenang. Tren serupa berlanjut pada Pilkada 2018, ketika 69 pasangan calon perseorangan ikut bertarung, hanya dua pasangan berhasil memenangkan kontestasi.

Pada Pilkada Serentak 2020, jumlah calon perseorangan tercatat 61 pasangan. Enam pasangan di antaranya berhasil memenangkan pilkada di berbagai daerah. Adapun pada Pilkada Serentak 2024, sebanyak 51 pasangan calon perseorangan mengikuti kontestasi dan dua pasangan di antaranya berhasil memenangkan pemilihan.

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan, keberadaan calon perseorangan telah dijamin konstitusionalitasnya dan dipraktikkan secara konsisten dalam penyelenggaraan pilkada sejak 2008. Jika pilkada dilakukan oleh DPRD, calon perseorangan akan kehilangan eksistensinya. Kalaupun tetap diakomodasi, jalur tersebut berisiko terjebak dalam praktik politik transaksional yang pragmatis.

Baca JugaCalon Perseorangan Mulai Berguguran

Menurut dia, esensi kehadiran calon perseorangan terletak pada dukungan langsung pemilih. Jalur ini dibuka karena pilihan yang disodorkan partai politik tidak selalu mampu mencerminkan aspirasi dan kehendak rakyat. Karena itu, legitimasi calon independen seharusnya diuji melalui pemilihan langsung oleh warga.

“Calon perseorangan namun melalui pemilihan oleh DPRD hanyalah dagelan politik yang amat jauh dari esensi latar belakang kehadiran calon perseorangan itu sendiri,” tuturnya.

Dengan demikian, lanjut Titi, jalur perseorangan menjadi tidak kompatibel dengan skema pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Keikutsertaan calon perseorangan dalam pemilihan tidak langsung dinilai hanya bersifat simbolik dan tidak menyentuh substansi demokrasi.

“Sekadar sandiwara dan rekayasa elite yang memberikan gula-gula bagi keterlibatan politik warga, namun pada akhirnya elite tetap menjadi pihak yang berkuasa untuk memutuskan,” kata Titi.

Ruang aspirasi warga menyempit

Wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah kembali mengemuka setelah Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia secara terbuka mengusulkan pilkada lewat DPRD di hadapan Presiden Prabowo Subianto. Usulan yang disampaikan saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, itu langsung direspons positif oleh Presiden.

Presiden Prabowo pun memberi sinyal bahwa pilkada tidak langsung kembali menemukan momentumnya, seiring bergulirnya pembahasan RUU Pemilu. Minggu (28/12/2025), partai yang dipimpin Prabowo, Gerindra, menyampaikan sikap, mendukung gagasan pilkada lewat DPRD. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Sugiono mengungkapkan, Gerindra mendukung gagasan pilkada lewat DPRD karena lebih efisien.

Namun, Titi mengingatkan, perubahan mekanisme pilkada akan berdampak langsung pada kualitas partisipasi publik. Ruang aspirasi politik warga berpotensi menyempit, sementara pengambilan keputusan semakin terkonsentrasi di tangan elite. Kondisi tersebut berisiko memicu ketidakpuasan publik dan dapat berujung pada ekspresi politik yang kontraproduktif bagi stabilitas dan kondusivitas demokrasi.

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai, secara formal, calon independen mungkin tetap dicantumkan dalam pilkada oleh DPRD. Namun, secara substantif, keberadaannya kehilangan makna dan nilai politik karena tidak lagi dipilih oleh rakyat.

“Secara legal mungkin tetap dimungkinkan, tetapi makna dan nilai politis calon independen menjadi hilang. Pada akhirnya yang memilih tetap partai politik, sehingga independensinya tidak lagi bermakna,” ujarnya.

Ia menilai, pembukaan jalur perseorangan dalam skema pemilihan oleh DPRD berisiko hanya menjadi formalitas atau lip service untuk memberi kesan keterbukaan. Padahal, ruang alternatif politik di luar partai yang menjadi tujuan awal kehadiran calon independen justru menghilang.

Baca JugaPilkada lewat DPRD: Partai Besar Merapat, Partai Kecil Tak Sepakat

Menurut Kaka, menurunnya jumlah calon perseorangan dalam pilkada tidak bisa dibaca sebagai meningkatnya kepercayaan publik terhadap partai politik. Penurunan tersebut lebih merupakan dampak dari menyempitnya ruang politik akibat menguatnya hegemoni kekuasaan dan koalisi partai yang mendominasi proses elektoral. Dalam situasi itu, calon independen kehilangan sumber daya, jejaring, dan ruang kompetisi yang setara.

Ia juga menyoroti dampak jangka panjang terhadap demokrasi lokal dan otonomi daerah. Ketika seluruh proses pemilihan kepala daerah dikendalikan oleh partai dan koalisi elite, aspirasi lokal berisiko terseragamkan oleh kepentingan politik tingkat nasional. Kondisi tersebut bukan hanya menggerus otonomi daerah, tetapi juga mempersempit pilihan politik warga dan menjauhkan demokrasi lokal dari partisipasi publik serta prinsip kebinekaan.

Padahal hasil kemenangan calon perseorangan di setiap gelaran pilkada serentak telah membuktikan kebutuhan terhadap calon alternatif. Meskipun jumlah kemenangan calon perseorangan terus berkurang, masih ada daerah yang tidak sepakat dengan calon yang diajukan partai politik. Akibatnya, mereka tetap membutuhkan keberadaan calon independen sebagai calon alternatif.

"Persoalannya bukan apakah calon perseorangan menang atau kalah, tetapi apakah rakyat masih diberi ruang yang cukup untuk memiliki pilihan politik di luar partai. Ketika ruang itu dihilangkan, kedaulatan rakyat di tingkat daerah ikut tergerus,” ucap Kaka.

Politik uang makin sulit diawasi

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) Jeirry Sumampow menilai, alasan efisiensi anggaran dan penekanan politik uang yang digunakan untuk mendorong pilkada melalui DPRD sebagai argumentasi yang keliru. Mahalnya ongkos politik bukan bersumber dari mekanisme pemilihan langsung, melainkan dari tata kelola partai politik dan perilaku elite yang masih sarat praktik transaksional.

“Masalah ongkos politik mahal itu akarnya ada pada perilaku elite dan tata kelola partai politik, bukan pada sistem pemilihan langsungnya. Mengubah sistem menjadi tidak langsung tidak akan menghapus politik uang,” ujar Jeirry.

Jeirry mengingatkan, perubahan mekanisme pilkada menjadi pemilihan oleh DPRD justru berisiko memindahkan praktik politik uang ke ruang-ruang tertutup antar-elite. Kondisi tersebut dinilai lebih berbahaya karena semakin sulit diawasi publik dan berpotensi melemahkan integritas demokrasi.

“Transaksi gelap yang sebelumnya menyasar massa justru akan terkonsentrasi di ruang-ruang tertutup antar-elite partai, dan ini jauh lebih berbahaya bagi demokrasi,” katanya.

Jeirry menambahkan, pilkada langsung merupakan mandat reformasi untuk memutus praktik transaksi politik di DPRD yang masif terjadi pada masa lalu. Oleh karena itu, solusi atas mahalnya biaya politik seharusnya ditempuh melalui reformasi pendanaan partai, pemanfaatan teknologi pemilu, serta penegakan hukum yang tegas terhadap politik uang, bukan dengan mengurangi hak rakyat untuk memilih secara langsung.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Puting Beliung Terjang Kemang Bogor, Puluhan Rumah Rusak
• 20 jam laludetik.com
thumb
Insentif Mobil Listrik Dinilai Masih Diperlukan di Tengah Fluktuasi Harga Minyak
• 1 jam laluidxchannel.com
thumb
Situasi Mengenai Pelatih Timnas Indonesia Bisa Saja Berubah Selama Belum Pengumuman Resmi
• 5 jam lalubola.com
thumb
Update Kondisi Anthony Joshua Usai Kecelakaan Fatal: Alami Cedera dan Luka-Luka
• 11 jam lalutvonenews.com
thumb
AMAN Catat Konflik 202 Ribu Hektare Wilayah Adat Bengkulu Sepanjang 2025
• 21 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.