DOSEN Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai pilkada lewat DPRD dapat memicu konflik apabila ada ketidakpuasan di daerah terhadap hasil pilkada. Menurutnya alasan itu mengulang argumen lama yang pernah digunakan sebelum Indonesia beralih ke pilkada langsung.
Menurut Titi, alasan efisiensi dan maraknya politik uang yang kerap dijadikan dasar perubahan sistem tidak menyentuh akar persoalan demokrasi elektoral di Indonesia.
“Argumen itu sama persis dengan alasan yang digunakan pada 2004, sebelum Indonesia memutuskan beralih dari pemilihan di DPRD ke pemilihan langsung melalui pengesahan UU Nomor 32 Tahun 2004,” ujar Titi kepada Media Indonesia, Selasa (30/12).
Ia menegaskan, pelaku politik uang dan politik transaksional sejatinya tidak berubah meski sistem pemilihan diubah. Aktor-aktor tersebut tetap berasal dari kalangan elite politik dan partai politik.
“Problemnya, pelaku politik uang itu tetap sama, yaitu aktor-aktor politik yang juga merupakan bagian dari partai politik. Karena itu, yang mendesak dan krusial justru membenahi integritas partai politik agar demokrasi internalnya benar-benar berjalan,” kata Titi.
Titi juga mengingatkan bahwa jika alasan efisiensi waktu dan biaya dijadikan pembenaran untuk mengembalikan pilkada ke DPRD, logika serupa bisa diterapkan pada pemilihan lainnya.
“Dengan argumen efisiensi, sangat mudah nanti digunakan untuk menjadikan pemilihan presiden juga tidak langsung, misalnya melalui MPR. Ini bisa menjadi bola salju liar yang makin mengeliminasi hak demokrasi rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan utama dalam pilkada bukan terletak pada sistem pemilihan, melainkan pada lemahnya tata kelola pendanaan politik dan penegakan hukum.
“Yang harus dibenahi adalah transparansi dan akuntabilitas pendanaan kampanye serta efektivitas penegakan hukum. Ini sebenarnya miniatur persoalan besar bangsa kita, yaitu korupsi dan lemahnya penegakan hukum,” tegas Titi.
Selain itu, Titi menekankan bahwa perubahan sistem pemilihan yang dilakukan tanpa pembenahan fundamental hanya akan menjadi bongkar-pasang aturan sesuai kepentingan elite politik.
“Seharusnya yang dilakukan adalah pembenahan secara serius dan konsisten, bukan bongkar pasang sistem pemilihan sesuai selera elite,” tukasnya.
Lebih jauh, Titi memperingatkan bahwa pilkada lewat DPRD berpotensi memicu konflik dan ketidakpuasan masyarakat di daerah. Kondisi tersebut, menurutnya, dapat berkembang menjadi ancaman baru bagi persatuan nasional.
“Bukan tidak mungkin kebijakan ini memicu konflik daerah dan ketidakpuasan masyarakat yang makin meluas, bahkan bisa menjadi ancaman disintegrasi bangsa,” ujarnya.
Titi juga menyoroti kuatnya intervensi elite pusat dalam proses pencalonan kepala daerah jika pilkada dilakukan melalui DPRD. Dominasi pengurus pusat partai dinilai dapat mempersempit ruang gerak politik aktor-aktor daerah.
“Intervensi elite pusat melalui DPP yang menjangkau hingga kabupaten dan kota berpotensi makin membonsai aktor politik daerah. Ini justru bisa memecah belah partai karena ruang gerak politik kader di daerah semakin dibatasi oleh pola sentralistik,” pungkasnya. (H-4)




