Di Kertajaya, Reyog Masih Menemukan Ruang Hidupnya

kumparan.com
6 jam lalu
Cover Berita
Catatan tentang Reyog Singo Mangkujoyo

Gang kecil di kawasan Kertajaya, Surabaya dikenal luas sebagai Gang Reyog. Di tengah padatnya lalu lintas dan cepatnya perubahan kota metropolitan, kesenian Reyog Singo Mangkujoyo masih terus hidup. Bukan sebagai artefak masa lalu, melainkan sebagai praktik budaya yang tetap dijalankan, dirawat, dan dipertunjukkan hingga hari ini.

Reyog Singo Mangkujoyo merupakan kelompok kesenian reyog yang telah berdiri sejak tahun 1951. Berdasarkan penuturan Bu Maming—warga Kampung Reyog Kertajaya yang terlibat langsung dalam aktivitas kesenian tersebut—kelompok ini didirikan oleh kakek buyut Sugiharto atau Giarto, yakni Mbah Wadyo.

Dipilihnya kawasan Kertajaya yang berada di pusat Kota Surabaya bukan tanpa alasan. Sejak awal, kehadiran Reyog Singo Mangkujoyo dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi kesenian reyog di tengah ruang kota yang terus berkembang.

Seiring waktu, Reyog Singo Mangkujoyo tumbuh menjadi identitas kultural kawasan tersebut. Aktivitas pementasan masih berlangsung hingga kini. Dalam satu bulan, kelompok ini rata-rata tampil satu hingga empat kali, baik di lingkungan kampung maupun di luar wilayah. Fakta ini menunjukkan bahwa reyog masih memiliki ruang hidup di tengah dominasi hiburan modern.

Bu Maming—warga Kampung Reyog Kertajaya yang terlibat langsung dalam aktivitas kesenian ini, sekaligus mengelola persewaan kostum reyog dan jaranan—menyebut bahwa keberlangsungan reyog hingga hari ini tidak lepas dari keterlibatan warga.

Bagi Bu Maming, reyog bukan sekadar pertunjukan, melainkan juga bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat kampung.

Dalam perjalanan panjangnya, Reyog Singo Mangkujoyo tentu mengalami dinamika. Setelah tokoh-tokoh lama yang memegang peranan penting wafat, terjadi proses peralihan pengelolaan yang berlangsung cukup cepat.

Namun, hal ini tidak serta-merta mematikan aktivitas kesenian. Reyog tetap berjalan meskipun membutuhkan penyesuaian dan konsolidasi dari waktu ke waktu.

Beruntungnya, regenerasi tidak menjadi persoalan besar. Anak-anak muda masih menunjukkan minat untuk terlibat.

Minat ini menjadi modal penting bagi keberlangsungan kesenian tradisi di tengah kota. Namun, minat saja tidak cukup.

Hal yang justru perlu mendapat perhatian serius adalah pembinaan nilai dan disiplin dalam berkesenian. Reyog bukan hanya soal kekuatan fisik atau atraksi visual, melainkan juga laku budaya yang mengandung etika dan tanggung jawab.

Selain itu, aspek perawatan kesenian juga menjadi perhatian penting. Properti reyog—terutama kostum dan perlengkapannya—membutuhkan biaya besar dan perawatan rutin. Persewaan kostum menjadi salah satu cara warga menopang keberlangsungan kesenian meskipun tetap memiliki keterbatasan.

Di sinilah terlihat bahwa pelestarian budaya sering kali bergantung pada inisiatif warga, bukan pada sistem pendukung yang mapan.

Reyog Singo Mangkujoyo mengajarkan bahwa menjaga kesenian tradisi di tengah kota besar bukan hanya soal mempertahankan jadwal pentas atau sejarah panjang. Yang jauh lebih penting adalah menjaga nilai, disiplin, dan kesinambungan antargenerasi.

Selama masih ada warga yang merawat, pemain yang mau belajar, dan kesadaran bahwa reyog adalah bagian dari identitas bersama, kesenian ini akan tetap hidup meski berdiri di tengah hiruk-pikuk Surabaya.

Pada akhirnya, Reyog Singo Mangkujoyo bukan sekadar cerita tentang kelompok kesenian yang mampu bertahan sejak 1951, atau tentang seberapa sering ia tampil di panggung. Ia adalah contoh bagaimana kesenian tradisi hidup melalui perhatian pada hal-hal mendasar: kejelasan pengelolaan, perawatan properti, pembinaan nilai, dan keterlibatan warga.

Di tengah kota Surabaya yang terus bergerak cepat, Reyog Singo Mangkujoyo mengingatkan bahwa pelestarian budaya tidak cukup hanya dengan simbol dan sejarah, tetapi membutuhkan kesadaran kolektif untuk merawat kesenian itu sendiri.

Selama perhatian terhadap nilai dan praktik keseniannya tetap dijaga, reyog tidak hanya akan bertahan, tetapi terus menemukan relevansinya di tengah kehidupan kota modern.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Harga Emas Antam Hari Ini Selasa (30/12) Turun, Termurah Rp1,3 Juta
• 18 jam lalubisnis.com
thumb
BMKG: Waspada Potensi Hujan Lebat Jelang Tahun Baru 2026
• 13 jam laluidxchannel.com
thumb
Sempat Hilang Suara hingga Batal Manggung, Begini Kondisi Terkini Anji Jelang Tahun Baru di Makassar
• 18 jam lalugrid.id
thumb
Polda Sulsel dan Pemkot Makassar Kompak Tak Izinkan Penggunaan Kembang Api di Malam Tahun Baru
• 12 jam lalufajar.co.id
thumb
Kapan Puasa Ramadan 2026 Dimulai?
• 15 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.