Pada saat ini, kita hidup di masa ketika kebenaran bisa dibeli dengan gepokan kertas bertuliskan nominal bilangan, sudah tidak lagi pakai nurani. Kewarasan sering kalah telak oleh perdebatan yang tidak jelas juntrungannya. Segalanya bergerak begitu cepat tanpa jeda. Tetapi, arah terasa kabur. Suara lama dari masa lampau tiba-tiba terdengar kembali di tengah hiruk-pikuk ini. Gema Ronggowarsito berdengung, yang dalam Serat Kalathida ditulis dengan judul “Zaman Edan”.
Jauh sebelum frasa “zaman edan” jadi bahan meme atau quotes TikTok, tanah Nusantara sudah lebih dulu melahirkan para penyair yang kebimbangannya tidak kalah relevan terhadap generasi overthinking zaman now. Dari Chairil Anwar dengan “Aku”-nya yang menggugat takdir, sampai Sutan Takdir Alisjahbana yang penuh harap dengan karyanya “Seindah Ini”. Sebelum kedatangan mereka, Ronggowarsito sudah duluan merangkai unek-uneknya dengan gaya Jawa Klasik yang dalam tapi nyelekit. Beliau menulis tentang “Zaman Edan”, bahkan sebelum kita kenal istilah global warming dan AI. Semuanya seolah berirama dalam bahasa yang sama: dilema yang melampaui zaman yang tak pernah benar-benar usang.
Menurut Sari dan Marsudi (2024), Serat Kalathida merupakan karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang berisi pelajaran hidup alias falsafah. Kala berarti masa atau zaman, sementara thida berarti keraguan. Namun, sebagian besar orang lebih akrab menyebut "Kalathida" sebagai zaman edan. Istilah yang ironisnya, masih sangat cocok buat mencerminkan kondisi hari ini. Kata "edan" berasal dari bahasa Jawa yang berarti gila. Pada abad ke-19 saja, Ronggowarsito sudah resah soal dunia yang karut-marut, bayangkan betapa kacaunya! Bagaimana dengan kita yang diciptakan di era digital ini, rasa edannya malah makin akut.
Sejak fase kolonial hingga sekarang, jati diri bangsa perlahan-lahan menguap. Dulu semangat nasionalisme bikin masyarakat rela berkorban hingga di akhir darah penghabisan. Kalau saat ini, jangankan berkorban, tiap bangun tidur baca berita saja sudah bikin darah naik. Karakter nasionalisme yang dahulu kala kokoh, kini mudah goyah diterpa arus dari luar. Di Indonesia terutama masyarakat Jawa, gampang terombang-ambing oleh doktrin baru yang hadir silih berganti. Makanya jadi bingung sendiri, apakah benar ini prinsip kita, apa cuma ikut tren saja? Bukan hanya rakyat biasa, para elit politik hingga akademisi pun tak luput dari godaan paham-paham nyeleneh yang menyebabkan nilai humanisme kian merosot. Kata Ronggowarsito, di tengah zaman edan, yang penting tetap punya pedoman kuat. Nggak harus menolak modernisasi, tapi juga jangan sampai kehilangan jati diri. Bahasa kasarnya: ikut maju boleh, tapi jangan ikutan edan.
Di antara Scroll, Like, dan Komentar Receh, "Eling lan Waspada" Tetap Jadi Wejangan Paling WarasDari Serat Kalathida, Ronggowarsito mencerminkan kegelisahan yang menimpa orang-orang dengan keraguan, penuh ketidakpastian. Beliau tidak sekadar menunjukkan problematika, tetapi juga memberikan peringatan dan solusi, yakni eling dan waspada. Sebagaimana yang tertulis pada bait berikut.
Kata eling artinya ingat, maksudnya ialah sebagai hamba yang lemah, manusia wajib selalu mengingat Tuhan. Sedangkan waspada berarti senantiasa berhati-hati dalam keadaan apa pun. Orang-orang yang berbudi pekerti luhur cepat atau lambat akan disingkirkan pada saat kondisi yang kacau-balau. Kenapa bisa terjadi? Karena hal itu tidak selinier dengan keinginan syahwat keduniawian yang dikehendaki oleh segolongan manusia tertentu, yang dikaitkan dengan kepentingan penjajah, baik penjajah eksternal maupun internal. Namun, sejatinya kebenaran merupakan asas moral yang berlaku sepanjang hayat. Suatu hari nanti akan kembali berjaya.
Zaman Edan Sedang Kamu Jalani di Hari IniDi zaman yang katanya serba instan ini, jarak antara orang yang berkecukupan dengan orang yang berharap setiap hari bisa mengisi perutnya dengan tenang, kian terasa jauh. Mereka yang punya kuasa bebas terbang ke sana ke mari, sementara mereka yang tak mempunyai apa-apa harus terpinggirkan supaya tetap bisa menapaki di tanah yang licin. Pekerjaan, posisi, bahkan peluang, sekarang lebih sering ditentukan oleh seberapa besar “harga masuk” yang sanggup dibayar, bukan lagi ditentukan oleh keterampilan. Yang berkuasa mampu menembus pintu, yang lemah menanti di ambang. Berharap masih ada celah untuk masuk di antrean paling belakang.
Fenomena yang kita lihat pada hari ini merupakan hasil konsekuensi logis dari sistem kapitalisme dan liberalisme. Moral serta potensi diri diabaikan begitu saja. Kondisi yang dirasakan oleh R. Ng. Ronggowarsito telah kembali melanda di era society 5.0. Kekayaan orang-orang yang kedudukannya berada di atas bertebaran di setiap sudut bumi, menjulang bersama tahta yang diagungkan setinggi langit. Di sisi lain, masyarakat dengan penghasilan recehan hanya dapat menahan lapar dengan sebungkus nasi dan air isi ulang.
Jiwa-jiwa yang jernih kini sering dianggap tidak sefrekuensi. Ada yang bilang mereka terlalu polos, atau terlalu lurus. Di akhir skenario sandiwara, mereka dijauhi pelan-pelan. Sedangkan jiwa-jiwa dengan kecenderungan psikopat justru dielu-elukan, dijadikan sebagai panutan, bahkan role model. Dari Serat Kalathida, kita diingatkan untuk menengok ulang, “sebenarnya buat apa manusia hidup?” jawabannya simpel tapi berat: menjadi pemelihara semesta. Biar tidak berat, mari kita hendaknya berpegang teguh pada norma-norma agama dan kemanusiaan. Dua kunci yang sering dibahas, tetapi jarang sungguh-sungguh diamalkan. Di zaman edan yang terus berulang, ajaran lama itu bukan sekadar petuah, melainkan perlawanan terakhir supaya manusia sesibuk, sejenius atau seburuk apa pun hidupnya, tetap disebut sebagai manusia.
Sejauh ini telah terbukti jika zaman edan belum pernah benar-benar tamat. Di setiap baitnya terselip realita getir yang berganti kostum. Dulu hadir melalui tembang, sekarang dalam layar gawai, ia menyamar menjadi wujud sorak audiovisual atau film yang membangkitkan akal sehat. Ronggowarsito sudah wanti-wanti lewat eling lan waspada sejak lama. Dua kata yang kedengarannya sepele, tapi semacam kompas di gempuran di dunia yang terbalik ini. Tugas kita bukan hanya menjaga zaman untuk tetap waras, melainkan juga menjaga hati agar tertata. Karena di dunia yang semakin absurd ini, terkadang bertahan untuk tetap waras justru jadi bentuk kegilaan paling mulia.



