Jakarta: Wacana pencabutan insentif kendaraan listrik dinilai perlu dikaji secara hati-hati, terutama di tengah dinamika geopolitik global yang kerap memicu fluktuasi harga minyak mentah dan berdampak pada beban impor bahan bakar minyak (BBM) Indonesia.
Pengamat ekonomi, mata uang, dan komoditas Ibrahim Assuaibi menilai pasar mobil listrik nasional hingga kini masih berada pada tahap awal pengembangan. Ia menekankan industri mobil listrik di Indonesia saat ini masih berada dalam fase pertumbuhan.
"Saya katakan bahwa ini masih masa pertumbuhan. Artinya apa? Masa pertumbuhan itu masih mereka itu memilah-milah mana yang pasar mana yang harus dioptimalkan, mobil merek apa, harganya berapa, ini yang harus bisa dilakukan oleh pengusaha-pengusaha mobil listrik," ungkap Ibrahim dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 30 Desember 2025.
Ia membandingkan kondisi tersebut dengan industri kendaraan berbahan bakar fosil yang telah lebih matang dan memiliki pengalaman panjang dalam menyesuaikan strategi penjualan di tengah tekanan ekonomi.
"Berbeda dengan mobil-mobil yang berbahan bakar fosil, seperti Toyota, Mitsubishi, dan lain-lain. Mereka selalu membuat satu strategi bagaimana dalam kondisi saat ini ekonomi tidak berimpek saja, membuat produk-produk mobil yang harganya relatif lebih murah dan terjangkau oleh masyarakat," kata dia.
Baca juga: Belum 2026, Pengisian Daya Kendaraan Listrik Sudah Pecahkan Rekor Nataru Jika jadi, kendaraan listrik bakal ditinggalkan
Ibrahim menilai, jika insentif kendaraan listrik dihentikan dan perlakuan pajaknya disamakan dengan kendaraan berbahan bakar minyak, hal tersebut berpotensi memengaruhi minat masyarakat. Kondisi ini, menurut dia, juga perlu dilihat dalam konteks ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM.
"Karena pada saat insentif, subsidi insentif itu dihilangkan, kemudian pajak mobil listrik sama dengan pajak mobil fosil berbahan bakar fosil, kemungkinan besar harganya akan lebih mahal, sehingga akan ditinggalkan," ucap Ibrahim.
Ia menambahkan ketidakpastian geopolitik global seringkali berdampak langsung pada harga minyak mentah dunia. Dalam situasi tersebut, setiap kebijakan yang berpotensi meningkatkan konsumsi BBM impor perlu dipertimbangkan secara cermat.
"Semoga wacana ini tidak jadi karena saat ini perkembangan Indonesia masih belum stabil, sehingga masih butuh insentif dari pemerintah. Tujuannya adalah agar masyarakat itu beralih dari membentuk bahan bakar fosil berubah menjadi bahan listrik," ungkap dia.
Menurut Ibrahim, pola adopsi kendaraan listrik yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa insentif menjadi pendorong awal sebelum kendaraan listrik benar-benar dipilih karena kebutuhan. "Baru setelah itu berkebutuhan. Jadi pertama insentif dulu, kedua adalah kebutuhan," kata dia.
(Ilustrasi mobl listrik. Foto: Medcom.id)
Pengembangan industri mobil listrik masih tumbuh bertahap
Ibrahim juga menilai pengguna mobil listrik di Indonesia saat ini masih terbatas pada kelompok tertentu. Jika insentif dihentikan pada fase pertumbuhan, terdapat kemungkinan masyarakat kembali mengandalkan kendaraan berbahan bakar minyak.
"Kalau seandainya insentif dicabut pada saat masa pertumbuhan, ya kemungkinan besar masyarakat akan beralih kembali ke mobil berbahan bakar minyak," tuturnya.
Ibrahim mengibaratkan perkembangan industri mobil listrik seperti proses tumbuh kembang yang memerlukan tahapan. Kata dia, pencabutan insentif idealnya dilakukan ketika pasar sudah lebih matang.
"Ada persiapan, ada pertumbuhan, ada perkembangan, ada pendewasaan. Pada saat sudah dewasa, disitulah pemerintah baru mencabut insentif," jelas Ibrahim..
Ia berharap setiap keputusan terkait insentif kendaraan listrik dapat mempertimbangkan kondisi pasar domestik serta dinamika global, sehingga kebijakan yang diambil tetap selaras dengan kebutuhan ekonomi nasional.


