Oleh: Azis Subekti, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra
Disclaimer: Artikel ini telah melalui proses editing yang dipandang perlu sesuai kebijakan redaksi tvOnenews.com. Namun, seluruh isi dan materi artikel opini sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Jakarta, tvOnenews.com - Dua puluh tahun setelah Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki ditandatangani, Aceh telah menunjukkan bahwa perdamaian adalah pilihan yang tepat. Senjata telah lama terdiam, kehidupan sosial perlahan pulih, dan ruang pembangunan terbuka lebih luas dibandingkan masa konflik. Namun, peringatan dua dekade perdamaian ini seharusnya tidak berhenti pada seremoni dan nostalgia sejarah semata. Momentum ini perlu dimaknai sebagai ruang refleksi bersama: sejauh mana negara benar-benar menepati janjinya kepada rakyat Aceh?
Perdamaian Aceh bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan janji politik dan moral negara kepada warganya. Ia adalah aset nasional yang nilainya jauh melampaui stabilitas keamanan. Perdamaian hanya akan benar-benar kokoh jika disertai rasa keadilan dan kesejahteraan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Tanpa itu, damai berisiko menjadi formal—tenang di permukaan, tetapi menyimpan kegelisahan yang tak selalu terucap.
Pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang menyebut realisasi komitmen pemerintah pusat baru sekitar 35 persen patut dibaca sebagai suara lapangan yang jujur. Terutama dalam soal pemenuhan lahan bagi mantan kombatan, persoalan ini terus berulang karena proses birokrasi yang kerap kembali ke titik awal setiap kali terjadi pergantian kepemimpinan kementerian. Dalam proses yang berlarut-larut tersebut, kelompok yang seharusnya paling cepat dipulihkan kehidupannya justru menjadi pihak yang paling lama menunggu.
Insiden pengibaran bendera bulan bintang yang kemudian ditertibkan aparat TNI juga seharusnya dilihat dengan kacamata yang lebih empatik. Peristiwa semacam ini bukan semata soal simbol, melainkan cerminan kegelisahan sosial yang belum sepenuhnya tertangani. Pengalaman berbagai wilayah pascakonflik menunjukkan bahwa ketika kesejahteraan tertinggal, simbol kerap menjadi bahasa terakhir untuk menyampaikan rasa kecewa.
Karena itu, menjaga perdamaian Aceh tidak cukup hanya melalui pendekatan keamanan. Negara perlu hadir secara lebih manusiawi dengan pendekatan kesejahteraan yang konsisten dan berkeadilan. Integrasi ekonomi mantan kombatan—melalui kepastian lahan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak—bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan fondasi utama bagi perdamaian jangka panjang. Mereka yang memiliki harapan dan masa depan akan menjadi penjaga damai yang paling tulus.


