Hidup di Bawah Tenggat Tak Terlihat

kumparan.com
16 jam lalu
Cover Berita

Pernahkah kita merasa selalu harus siap, selalu terhubung, dan selalu merespons, meskipun tidak ada jadwal resmi yang menuntutnya? Balasan pesan yang harus cepat, email kerja yang harus segera dibaca, notifikasi media sosial yang menunggu untuk diklik. Tanpa disadari, kita hidup di bawah tenggat yang tidak pernah diumumkan, tetapi terasa menekan setiap langkah kita.

Tenggat ini bukan sekadar soal pekerjaan atau studi, melainkan telah menjadi bagian dari ritme hidup sehari-hari yang diam-diam mengatur cara kita bergerak, berpikir, dan bahkan bernapas.

Tenggat tak terlihat berbeda dengan tenggat yang tercantum di kalender atau kontrak resmi. Ia muncul dari ekspektasi sosial, tekanan teknologi, dan budaya yang menilai kesibukan sebagai tanda keberhasilan.

Diam sebentar dianggap malas, tidak merespons dianggap tidak peduli, dan beristirahat dianggap kemewahan. Tanpa sadar, kita menyesuaikan diri, membentuk rutinitas yang lebih banyak untuk menanggapi ekspektasi orang lain daripada memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Teknologi menjadi salah satu pendorong utama fenomena ini. Media sosial, aplikasi pesan, dan fitur “online” atau “last seen” menciptakan ilusi bahwa setiap momen harus segera direspons. Mesin dan algoritma yang seharusnya memudahkan hidup justru membentuk pola perilaku baru: tidak ada waktu henti yang nyata.

Batas antara pekerjaan, sekolah, dan kehidupan pribadi menjadi kabur, sementara kita terus merasa bersalah jika tidak aktif. Ironisnya, kemajuan digital yang menjanjikan efisiensi justru meningkatkan kelelahan manusia.

Lebih jauh, tenggat tak terlihat ini dipelihara oleh sistem sosial dan politik. Budaya kerja fleksibel tanpa batas jam, kebijakan produktivitas tanpa perlindungan pemulihan, dan narasi “selalu siap” menormalisasi kelelahan sebagai bagian dari kesuksesan.

Akibatnya, banyak orang menganggap kelelahan sebagai masalah pribadi, padahal ini merupakan dampak struktural yang dialami oleh banyak orang dalam masyarakat modern.

Dampak nyata dari tenggat tak terlihat ini cukup serius. Sulit untuk benar-benar beristirahat, rasa bersalah muncul saat tidak aktif, dan kelelahan kronis menjadi teman sehari-hari. Semakin terhubung secara digital, semakin sulit tubuh dan pikiran untuk pulih. Kita terus bergerak, terus produktif, tetapi sering lupa apa yang sebenarnya membuat hidup terasa bermakna.

Fenomena ini jarang dibicarakan. Tenggat tak terlihat tidak tertulis, tidak bisa diprotes secara formal, dan terlihat normal karena dialami hampir semua orang. Budaya yang membanggakan kesibukan membuat kelelahan tidak dianggap masalah publik. Padahal, jika dibiarkan, konsekuensinya bukan hanya berupa kelelahan fisik, tetapi juga menipisnya kapasitas manusia untuk berinovasi, berkarya, dan menikmati hidup.

Perubahan tidak bisa hanya mengandalkan kesadaran individu. Diperlukan kesadaran kolektif mengenai batas waktu manusia, kebijakan yang jelas soal jam kerja dan hak beristirahat, serta etika digital yang menghargai jeda. Tenggat tak terlihat mungkin tidak bisa dihapus sepenuhnya, tetapi setidaknya kita dapat menciptakan ruang untuk bernapas, pulih, dan tetap menjadi manusia.

Hidup hari ini bukan hanya diatur oleh jam atau kalender. Kita berada di bawah tenggat tak terlihat, ekspektasi yang tidak tertulis, tetapi menuntut perhatian setiap saat. Pertanyaannya sederhana, namun penting: jika tenggat terus ada, kapan kita benar-benar hidup?


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Presiden Prabowo Batal Umumkan Swasembada Beras pada 31 Desember, Wamentan Ungkap Alasannya
• 4 jam lalufajar.co.id
thumb
Hasil dan Klasemen Liga Inggris: Arsenal Tutup 2025 di Posisi Pertama
• 13 jam lalubisnis.com
thumb
Tutup Tahun 2025, Unisma Gelar Muhasabah dan Haul Gus Dur
• 6 jam laluberitajatim.com
thumb
Pemotor Tewas Tertabrak Truk Usai Jatuh Akibat Jalan Gelombang di Jakut
• 22 jam laludetik.com
thumb
Kondisi Listrik Pasca Banjir Sumatra Ternyata Lebih Parah dari Tsunami
• 5 jam lalucnbcindonesia.com
Berhasil disimpan.