Model Penetapan Hak atas Tanah Pascabencana demi Kepastian Hukum

mediaindonesia.com
7 jam lalu
Cover Berita

BENCANA banjir bandang dan tanah longsor yang kembali menghantam wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat belakangan ini tidak bisa lagi kita pandang dengan cara lama. Itu bukan sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba atau semata-mata 'amukan Tuhan'.

Di balik pemandangan memilukan dari rumah-rumah yang hanyut dan ribuan hektare sawah yang tertimbun oleh lumpur, tersingkap sebuah persoalan struktural yang jauh lebih dalam. Akar masalahnya ialah tata kelola sumber daya alam yang rapuh, dan praktik penyerobotan tanah rakyat yang selama ini berjalan mulus atas nama perizinan investasi.

Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memperkuat kenyataan tersebut. Walhi menegaskan bahwa bencana di Sumatra merupakan bencana ekologis yang lahir dari akumulasi kebijakan perizinan yang keliru.

Sepanjang 2016-2025, Walhi mencatat sekitar 1,4 juta hektare hutan dan wilayah kelola rakyat di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah terdeforestasi akibat keberadaan ratusan izin bermasalah, mulai PBPH, HGU perkebunan sawit, pertambangan, hingga proyek energi yang beroperasi di wilayah hulu daerah aliran sungai. Ketika hutan kehilangan fungsinya sebagai penyangga, bencana bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan.

 

ANCAMAN BESAR SELANJUTNYA

Di tengah situasi krisis itu, pemerintah pekan-pekan ini membawa kabar yang sekilas terdengar melegakan. Pemerintah mengumumkan telah mencabut 22 izin perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dengan total luasan mencapai 1.012.016 hektare. Sekitar 116 ribu hektare dari total luasan tersebut berada di Pulau Sumatra, sebuah wilayah yang dalam satu dekade terakhir memang tengah mengalami tekanan ekologis yang sangat berat.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebut langkah itu sebagai bagian dari penataan ulang izin bermasalah yang dilakukan sepanjang tahun ini. Kebijakan itu diklaim sebagai tindak lanjut langsung dari instruksi Presiden untuk menertibkan perizinan yang dinilai merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Tentu saja, sebagai sebuah langkah korektif, ketegasan itu patut kita apresiasi.

Namun, apresiasi itu harus disertai catatan kritis yang tajam. Pencabutan izin sejatinya baru menyentuh sisi administratif semata. Dampak nyatanya terhadap pemulihan hak atas tanah masyarakat, terutama bagi mereka yang kini menjadi korban bencana. Sampai dengan saat ini pemerintah masih belum memberikan informasi skema pengakuan dan perlindungan apa yang akan dilakukan untuk memastikan hak atas tanah bagi korban bencana.

Faktanya di banyak wilayah yang terdampak oleh bencana baik masyarakat adat, petani kecil, maupun warga desa telah lama hidup tanpa kepastian hukum atas lahan yang mereka kelola secara turun-temurun. Karena itu, tanpa adanya kebijakan lanjutan yang benar-benar berpihak kepada rakyat, mereka justru berisiko kembali tersisih. Ironisnya, kali ini mereka bukan tersisih oleh air bah, melainkan oleh ketidakpastian hukum yang membiarkan status tanah mereka mengambang.

Kondisi itu menciptakan ironi yang menyakitkan. Tanpa adanya kebijakan lanjutan yang benar-benar berpihak kepada rakyat, mereka justru berisiko kembali tersisih. Bukan tidak mungkin, lahan yang izinnya dicabut itu justru beralih menjadi status 'tanah negara' yang tertutup bagi rakyat, atau lebih buruk lagi, dialihkan ke korporasi lain pada masa depan. Rakyat yang sedang memulihkan diri dari trauma bencana bisa saja dianggap sebagai penyerobot di atas tanah leluhur mereka sendiri hanya karena ketiadaan selembar kertas legalitas.

 

TIGA PRINSIP MODEL PENETAPAN HAK ATAS TANAH

Dalam situasi darurat seperti ini, pemulihan pascabencana tidak boleh berhenti pada pendekatan fisik semata, seperti pembangunan tanggul, jembatan, rencana reboisasi, atau sekadar hunian sementara. Negara harus berani melangkah lebih jauh, seperti penetapan model dan skema hak atas tanah yang adil dan berkelanjutan bagi korban bencana di Sumatra harus segera dibuat, setidaknya dengan berlandaskan pada tiga prinsip utama.

Pertama, pengakuan hak tanah yang jelas dan bersifat legal formal untuk masyarakat yang terdampak. Itu penting untuk mencegah mereka terus berada dalam rentetan kerawanan sosial dan ekonomi setelah bencana. Pemerintah perlu mempercepat penerbitan sertifikat hak atas tanah yang benar-benar mencerminkan kondisi faktual sejarah kepemilikan, termasuk melalui pemetaan partisipatif bersama masyarakat adat dan warga lokal.

Kedua, perlu diterapkan mekanisme restitusi tanah yang terintegrasi dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Inilah momen untuk memastikan korban banjir memiliki kepastian hukum atas lahan mereka dan bukan sekadar menerima bantuan sementara. Kepastian itu juga akan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap negara sebagai pelindung hak-hak fundamental mereka.

Ketiga, kebijakan pencabutan izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan harus disertai kompensasi dan rehabilitasi ekologis yang melibatkan masyarakat adat dan lokal yang langsung dan tidak langsung sebagai korban bencana ekologis. Perusahaan yang terbukti bersalah tidak cukup hanya dikenai sanksi administratif (cabut izin), tetapi juga harus bertanggung jawab atas pemulihan lingkungan dan kondisi sosial masyarakat di sekitar mereka.

 

MENUTUP CELAH KETIDAKADILAN

Pada akhirnya, reformasi tata kelola sumber daya alam menuntut lebih dari sekadar keberanian pejabat untuk mencabut izin. Diperlukan transparansi publik yang radikal. Pemerintah harus mengumumkan secara terbuka perusahaan mana saja yang izinnya dicabut atau digantung beserta alasan hukumnya, agar kebijakan itu dapat diawasi bersama oleh rakyat.

Kita harus selalu mengingat bahwa korban bencana bukan sekadar angka statistik dalam laporan pemerintah. Mereka ialah warga negara yang hak atas tanah, kehidupan, dan masa depannya harus ditempatkan sebagai bagian tak terpisahkan dari agenda pembangunan nasional.

Kita juga meyakini ketika penguasaan dan pengelolaan lahan berada di tangan komunitas yang hidup langsung di dalam dan sekitar kawasan hutan, praktik pengelolaan cenderung lebih berorientasi jangka panjang dan selaras dengan keberlanjutan ekologis. Karena itu, program pembangunan yang sejati akhirnya akan berlandaskan keadilan, berkelanjutan, dan tunduk pada prinsip-prinsip keadilan ekologis.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kapolri Minta Maaf: Polri Jauh dari Kesempurnaan
• 21 jam lalukumparan.com
thumb
Aglomerasi Pabrik Rokok Setor Pungutan Cukai Rp30 Miliar sepanjang 2025, Ini Daftarnya
• 2 jam lalubisnis.com
thumb
Jalur Puncak Diberlakukan Car Free Night Pada Malam Tahun Baru, Simak Jadwal Penutupannya
• 17 jam lalutvonenews.com
thumb
Mendagri: Libatkan Semua Pihak, Pemerintah Kerahkan Seluruh Upaya Tangani Bencana Sejak Awa
• 16 jam lalusuara.com
thumb
Persiapan Hadapi Borneo FC, PSM Makassar Masih Sulit Hadapi Tim Lima Besar
• 2 jam lalufajar.co.id
Berhasil disimpan.