SETIAP Desember, peringatan 'Hari Ibu' dipersoalkan karena dianggap meneguhkan ibuisme—perempuan direduksi pada peran domestik dan pengabdian tanpa kuasa. Aktivis perempuan menuntut pengakuan Hari Pergerakan Perempuan sebagai penanda sejarah politik emansipasi. Ketegangan itu seolah memaksa kita memilih: merayakan 'ibu' atau '(pergerakan) perempuan'.
Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No 316 Tahun 1959 terkait dengan hari-hari nasional yang bukan hari libur, menetapkan bahwa 22 Desember ialah Hari Ibu. Para aktivis perempuan pada masa itu paham bahwa 'ibu' pada masa itu bermakna politik, bukan ibu rumah tangga.
Sejak penetapan, Hari Ibu 1959 tidak lahir dari ruang domestik, tetapi dari panggung politik kebangsaan. Akar historisnya ialah Kongres Perempuan Indonesia I 1928 di Yogyakarta, sebuah peristiwa penting yang mempertemukan organisasi perempuan lintas latar: nasionalis, Islam, buruh, dan pendidikan.
Kongres itu membahas isu-isu strategis seperti pendidikan perempuan, perkawinan anak, hak politik, hingga kemerdekaan bangsa. Karena itu, penetapan 22 Desember sebagai Hari Ibu sejatinya merupakan pengakuan atas perempuan sebagai aktor sejarah dan subjek politik.
Sayangnya, ada distorsi makna pada masa Orba pada saat negara mengosongkan muatan politik Hari Ibu dan menggantinya dengan narasi pengabdian semata. Selama Orba berkuasa, peringatan Hari Ibu mengerdil dengan glorifikasi ibu dalam peran rumah tangga. Domestikasi ibu itu kemudian dikenal sebagai ibuisme berupa pembajakan makna ibu dari politis menjadi apolitis semata peran di domestik.
POLITIK KESETARAAN YANG BERAKAR
Dalam perspektif feminisme Pancasila, persoalan utama bukanlah memilih antara Hari Ibu atau Hari Pergerakan Perempuan, melainkan hilangnya akar nilai, sejarah, dan pengalaman hidup perempuan dari politik kesetaraan kita. Ketika kesetaraan dipahami semata sebagai slogan normatif atau adopsi wacana global tanpa konteks, ia kehilangan daya transformasinya dan menjauh dari realitas perempuan Indonesia.
Feminisme Pancasila memandang perempuan, termasuk sebagai ibu, sebagai manusia seutuhnya dan subjek politik yang berdaulat. Ibu bukan simbol domestik, melainkan penjaga kehidupan, perawat nilai, dan penggerak perubahan sosial. Sejarah Indonesia menunjukkan peran itu secara nyata: perempuan terlibat dalam perlawanan kolonial, gerakan buruh, pendidikan, kesehatan, hingga perjuangan politik formal.
Kritik terhadap ibuisme penting dan sah, terutama karena praktik tersebut pernah digunakan sebagai instrumen kekuasaan yang membungkam perempuan. Namun, meniadakan makna 'ibu' sama berbahayanya karena justru memutus perempuan dari sumber etika merawat dan daya hidup yang menjadi kontribusi khasnya bagi bangsa.
Ibu bangsa hadir sebagai upaya merebut kembali makna tersebut, bukan untuk meromantisasi peran perempuan, melainkan untuk mengembalikan agensi dan kedaulatannya. Istilah ibu bangsa sudah diperkenalkan Sukarno di Kongres PNI 1935 dan 1938. Dengan demikian, pemaknaan Hari Ibu pada masa lampau terkait erat dengan semangat emansipasi yang berjalan seiring dengan gerakan kesadaran kebangsaan yang kemudian menjadi gerakan menuntut kemerdekaan.
Berbeda dari feminisme liberal yang menekankan kesetaraan individual, atau feminisme sosialis yang bertumpu pada konflik kelas, feminisme Pancasila menawarkan politik kesetaraan yang berakar. Kesetaraan dipahami sebagai relasi kemitraan sejajar antara perempuan dan laki-laki, yang berlandaskan nilai kemanusiaan, gotong royong, keadilan sosial, dan spiritualitas.
Dalam kerangka itu, politik tidak semata-mata soal perebutan kekuasaan, tetapi juga soal etika merawat kehidupan. Kerja-kerja perawatan, yang selama ini dilakukan perempuan di ruang domestik dan komunitas, dipahami sebagai kerja sosial-politik yang menopang keberlanjutan bangsa. Itulah dimensi yang kerap absen dalam kebijakan publik dan diskursus politik arus utama.
MANIFESTO IBU BANGSA 2025
Musyawarah Ibu Bangsa 2025 memindahkan pengalaman dan pengetahuan perempuan itu ke pusat perumusan agenda nasional. Isu kekerasan berbasis gender, ketimpangan ekonomi, kesehatan perempuan, krisis iklim, hingga masa depan demokrasi dan teknologi dibaca dari perspektif kehidupan, bukan sekadar pertumbuhan atau stabilitas.
Polemik Hari Ibu versus Hari Pergerakan Perempuan sejatinya mencerminkan luka historis gerakan perempuan sendiri, antara tradisi pergerakan yang berakar di rakyat dan bahasa aktivisme modern yang sering terputus dari konteks sosial. Feminisme Pancasila tidak meniadakan salah satunya, tetapi menjahit keduanya dalam kerangka kebangsaan yang utuh.
Hari Pergerakan Perempuan mengingatkan bahwa hak dan keadilan tidak pernah diberikan, tetapi diperjuangkan. Hari Ibu mengingatkan bahwa perjuangan itu berakar pada kehidupan sehari-hari, pada tubuh perempuan, relasi sosial, dan keberlanjutan generasi. Ibu bangsa mempertemukan keduanya: perempuan sebagai penggerak sejarah sekaligus penjaga masa depan.
Jika Indonesia sungguh ingin mewujudkan Indonesia emas 2045 yang berkeadilan, politik kesetaraan tidak bisa berhenti pada representasi simbolis atau kebijakan parsial. Ia harus berakar pada pengalaman perempuan, pada nilai Pancasila, dan pada keberanian menata ulang arah pembangunan dari sudut pandang kehidupan.
Musyawarah Ibu Bangsa 2025 menandai pilihan politik tersebut. Perempuan Indonesia menolak dikotomi yang melemahkan dan memilih kebijaksanaan kolektif. Di sanalah 'ibu' dan 'pergerakan' bertemu—bukan sebagai lawan, melainkan sebagai energi bersama untuk membangun bangsa yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan.
Musyawarah Ibu Bangsa 2025 membahas 12 isu strategis dari penghapusan kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak; ketimpangan ekonomi dan kerja perempuan; kesehatan perempuan (fisik, mental, reproduksi, dan spiritual) hingga politik, kepemimpinan, dan representasi perempuan.
Manifesto Ibu Bangsa 2025 menyerukan enam hal, yaitu menghapus segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak; mewujudkan keadilan ekonomi, pengakuan kerja perawatan, dan kemandirian hidup perempuan; dan memastikan kepemimpinan dan representasi perempuan yang setara dan bermakna di seluruh ruang pengambilan keputusan.
Manifesto selanjutnya ialah melindungi tubuh perempuan, bumi, dan ruang hidup dari perusakan, kekerasan, dan krisis iklim; membangun peradaban digital yang beretika, aman, dan berpihak pada kemanusiaan; menulis ulang sejarah dan ingatan kolektif bangsa yang adil gender dan berjiwa Pancasila.
Musyawarah Ibu Bangsa 2025 menunjukkan perempuan Indonesia tidak sekadar menuntut ruang, tetapi juga menawarkan arah. Dari tubuh perempuan, dari kerja merawat yang selama ini tak terlihat, dari ingatan kolektif yang lama dihapus, lahir visi pembangunan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. Itulah politik kesetaraan yang berakar: tidak tercerabut dari rakyat, tidak terasing dari sejarah, dan tidak kehilangan jiwa.
Ketika 'ibu' dipulihkan sebagai subjek politik dan 'pergerakan', ia dipahami sebagai laku merawat kehidupan, keduanya berhenti saling mencurigai. Di sanalah energi perubahan menemukan rumahnya. Indonesia emas 2045 hanya mungkin terwujud jika bangsa ini berani belajar dari kebijaksanaan perempuan sebagai penggerak sejarah, penjaga nilai, dan penentu arah masa depan.



/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2025%2F11%2F18%2Ff24fe045-9a50-4f56-819d-6aa74dcf4353_jpg.jpg)
