Mengapa Waktu Terasa Cepat Berlalu?

kompas.id
17 jam lalu
Cover Berita

Kita tengah berada di akhir tahun 2025 dan bersiap menyambut Tahun Baru 2026. Padahal, perayaan Tahun Baru 2025 dengan pesta kembang api meriah terasa baru kemarin terjadi. Berbagai momen istimewa dalam hidup selama 365 hari terakhir tiba-tiba akan segera berlalu. Tanpa kita sadari, semakin bertambah usia, waktu terasa makin cepat.

Di usia muda, saat kita baru menginjak bangku sekolah hingga mulai bekerja, seharian terasa sangat panjang. Kita bisa melakukan banyak hal, baik yang serius atau santai, mulai dari belajar, les, naik gunung, melancong, olahraga, membaca buku, hingga nongkrong bersama teman-teman. Meski banyak hal dilakukan, waktu terasa berjalan lebih lambat sehingga jarak antarwaktu liburan terasa lama.

Saat usia terus bertambah, beban pekerjaan dan beban hidup juga bertambah. Lama 24 jam pun terasa ikut berubah. Waktu yang masih sama terasa tak cukup untuk mengerjakan segala rutinitas yang harus kita lakukan. Akibatnya hari, minggu, bulan, dan tahun terasa begitu cepat berubah. Dari satu waktu liburan ke waktu liburan berikutnya terasa sangat dekat karena waktu terasa berjalan amat cepat.

Namun tidak seperti jam, otak tidak memiliki detak teratur untuk dihitung. Untuk menyimpulkan berapa banyak waktu yang telah berlalu, otak hanya menjumlahkan apa yang telah terjadi.

Baca JugaEvolusi Kalender Masehi

Profesor neurosains kognisi dari Universitas Teknologi Queensland (QUT) Australia Hinze Hogendoorn di The Conversation, 17 Desember 2025, menyebut otak tak merasakan waktu, tapi menyimpulkannya. Jika perubahan waktu pada jam diukur dari bertambahnya detak jam, maka otak memperkirakan berlalunya waktu dengan melacak perubahan yang terjadi.

Namun tak seperti jam, otak tidak memiliki detak teratur untuk dihitung. Untuk menyimpulkan berapa banyak waktu telah berlalu, otak hanya menjumlahkan apa yang terjadi. Jika kita mengisi interval waktu itu dengan banyak hal menarik, otak akan mempersepsikan interval waktu itu terasa lebih panjang. Akibatnya waktu terasa berjalan lebih lambat.

Sebaliknya jika interval waktu yang sama itu diisi kegiatan rutin atau hal-hal yang membosankan dan kurang disukai, maka otak akan menilai interval waktu terasa lebih pendek. Konsekuensinya, waktu yang kita rasakan terasa berjalan lebih cepat.

Kondisi ini sudah dibuktikan di laboratorium. Responden yang dipaparkan dengan gambar berkedip dan ditampilkan secara singkat dalam durasi waktu tertentu akan merasa waktu berjalan lebih lama dibandingkan jika mereka dipaparkan pada gambar statis yang ditampilkan dalam waktu lama meski dengan durasi waktu yang sama.

Persepsi

Sementara itu, profesor psikologi dari Universitas Michigan Amerika Serikat Cindy Lustig seperti dikutip Huff Post, 18 Januari 2024, mengatakan, cepat atau lambatnya waktu yang kita rasakan sangat dipengaruhi persepsi kita tentang waktu. Namun, persepsi manusia tentang waktu itu akan berubah seiring bertambahnya usia. Semakin tua, waktu akan terasa makin cepat.

“Persepsi kita tentang hari, minggu, tahun, dan jangka waktu lainnya sangat dipengaruhi oleh perspektif kita, apakah kita berada di momen tersebut dan mengalami sendiri atau kita sedang melihat ke masa lalu,” ungkapnya.

Semakin tua, waktu akan terasa makin cepat.

Baca JugaKalender Masehi Masih Menyimpan Kesalahan

Tak hanya dipengaruhi usia, persepsi kita tentang waktu juga dipengaruhi ingatan dan seberapa banyak pengalaman yang dijalani. Satu minggu adalah bagian besar dalam hidup anak-anak, tapi hanya jadi bagian kecil dari hidup orang tua. Porsi periode waktu tertentu dibandingkan usia hidup yang dijalani seseorang membuat waktu berjalan lebih cepat pada orang orang tua.

Selain itu kehidupan orang tua umumnya tak jauh beda dengan kehidupan mereka tahun lalu. Pada anak-anak, kehidupan setahun sebelumnya bisa amat berbeda dengan kehidupan mereka kini karena dalam fase pertumbuhan. Akibatnya, orang tua mengingat lebih sedikit peristiwa dibandingkan anak-anak sehingga waktu terasa lebih cepat.

Kondisi itu disebabkan otak mengelompokkan waktu jadi satu. Saat aktivitas harian atau mingguan terasa sama, rentang beberapa hari atau minggu itu akan disatukan. Akibatnya, bagi orang tua yang melakukan hal sama dan rutin tiap hari, hari-hari mereka dalam satu tahun akan terasa menyatu dalam pikirannya sehingga satu tahun terasa lebih cepat.

“Otak manusia dirancang untuk merekam perubahan,” tambah Adrian Bejan, profesor teknik mesin Universitas Duke, Durham, AS dan penulis buku Time and Beauty: Why Time Flies and Beauty Never Dies (2022).

Banyaknya pengalaman yang dialami anak-anak dalam seharian membuat otak mereka beranggapan waktu terasa berlimpah dan lebih banyak aktivitas dilakukan dalam waktu tersebut. Jika kegiatan itu diingat kembali, maka waktu terasa berjalan lambat karena banyak hal bisa dilakukan dalam periode waktu yang sejatinya tetap.

Situasi itu juga dialami orang tua. Saat mereka mengingat kembali periode waktu tertentu yang dipenuhi dengan pengalaman baru, peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kenangan di satu masa, maka waktu di masa itu akan terasa berjalan lebih lambat dan lama.

Namun pengalaman baru di masa lampau itu akan menjadi rutinitas di masa depan. Jika mereka tidak memperkenalkan pola hidup yang baru, maka waktu di masa itu akan berubah jadi melambat.

Semakin sedikit gambaran peristiwa yang dimiliki atau diingat seseorang, maka semakin cepat pula waktu akan terasa berlalu.

Baca JugaMengapa Desember Jadi Bulan Ke-12 dalam Kalender Masehi?

“Jika kita mengingat kembali peristiwa di masa lalu, semakin sedikit gambaran peristiwa yang dimiliki atau diingat seseorang, maka semakin cepat pula waktu akan terasa berlalu,” ujar Lustig.

Menurut Bejan, cara kita memproses apa yang kita lihat juga bisa memengaruhi cara pandang terhadap waktu. Sejak bayi hingga kanak-kanak, otak dilatih menerima banyak “gambar” peristiwa sehingga hari, bulan, dan tahun terasa lebih lama.

Sementara itu, ketika beranjak dewasa, otak menerima lebih sedikit gambaran peristiwa dibandingkan yang diterima saat usia muda sehingga waktu terasa lebih cepat.

Hogendoorn menambahkan seberapa banyak hal terjadi dan apa yang diperhatikan seseorang akan menentukan cepat atau lambatnya waktu terasa. Hal ini membuat pengalaman intens pada suatu peristiwa akan memperkuat perhatian hingga otak menyimpan ingatan padat dan kaya.

Saat otak mengingat kembali berapa banyak waktu yang berlalu saat peristiwa tersebut terjadi, maka ingatan yang padat dan kaya itu ada akan membuat otak melebih-lebihkan banyaknya waktu yang berlalu sehingga waktu terasa lebih lambat.

Kondisi tersebut mudah ditemukan saat seseorang saksi mata diminta memperkirakan lama waktu terjadinya kecelakaan lalu lintas atau terjadinya guncangan saat gempa bumi berlangsung.

Selain itu, semakin seseorang memperhatikan waktu, maka semakin lambat pula waktu berlalu. Kondisi ini juga mudah ditemui saat seseorang menunggu pemeriksaan dokter gigi sambil bengong dibandingkan waktu yang sama yang digunakan untuk bermain atau menggulir telepon seluler.

Karena itu, waktu akan terasa lebih cepat saat digunakan untuk bersenang-senang atau melakukan kegiatan apapun yang mengalihkan perhatian mereka terhadap waktu.

“Menjaga pikiran tetap aktif, baik itu bekerja atau bermain, maka waktu akan berlalu begitu saja (berjalan cepat),” ujarnya.

Baca JugaApa Saja Pilihan Aktivitas Warga Lansia di Hari Tua?

Namun, kita sebenarnya memiliki banyak kendali untuk menjalani waktu yang kita miliki.

Memperlambat waktu

Meski semakin tua waktu berjalan kian cepat, ada banyak cara bisa dilakukan untuk memperlambat laju waktu tersebut. Upaya ini perlu dilakukan karena waktu yang berjalan cepat membuat hidup terasa suntuk dan kurang berwarna akibat kegiatan yang bisa kita jalani menjadi lebih terbatas. Umur boleh tua, tetapi hidup harus tetap bermakna.

“Semua orang ingin hidup ‘lebih lama’ dan ingin melakukan lebih banyak hal yang lebih baik dengan waktu yang tersedia,” ujar Bejan.

Salah satu cara untuk memperlambat waktu adalah dengan mencoba hal-hal baru di luar rutinitas yang biasa kita lakukan. Upaya ini bisa dijalani dengan menekuni kembali hobi masa kecil, mewujudkan cita-cita saat muda yang belum terwujud, atau menekuni hal-hal baru. Bagaimana pun, variasi adalah bumbu kehidupan.

Bermain musik, menari, melakukan perjalanan singkat ke kota-kota yang pernah dikunjungi atau tempat-tempat baru, hingga mendaftar kursus memasak atau membuat kue, semua masih bisa ditekuni di usia yang tak lagi muda. Hal yang terpenting adalah kita mampu keluar dari rutinitas dan memanfaatkan waktu yang masih ada.

Meski melakukan banyak hal-hal baru di luar rutinitas hidup, Lustig mengingatkan pentingnya menjalani semua kegiatan itu dengan kesadaran penuh (mindfulness) sehingga kita merasa benar-benar fokus dengan kegiatan yang kita lakukan sekarang.

Berlatih kesadaran penuh terbukti mampu memperpanjang persepsi waktu yang kita miliki. Karena itu, jangan berusaha untuk mengerjakan banyak tugas sekaligus, tetapi lebih penting untuk menjaga fokus pada pengalaman atau kegiatan yang sedang kita jalani saja.

“Tidak seorang pun tahu berapa banyak waktu yang kita miliki. Namun, kita sebenarnya memiliki banyak kendali untuk menjalani waktu yang kita miliki,” pungkas Lustig.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pogacar dan Vollering Mendominasi Balap Sepeda Dunia 2025
• 14 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Medco Energi (MEDC) Kucurkan Pinjaman Rp150 Miliar ke Anak Usaha
• 9 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Cuaca Ekstrem di Bulan Desember 2025 Buat Ratusan Rumah di Lebak Rusak: 1 Orang Meninggal Dunia
• 16 jam laluliputan6.com
thumb
Kapolri Minta Layanan 110 Dimasifkan: Respons Cepat Setiap Aduan
• 22 jam laludetik.com
thumb
Sudah Dimaafkan Tapi Tidak Bisa Dilupakan? Ini 5 Realita Pahit Tentang Perselingkuhan
• 6 jam lalubeautynesia.id
Berhasil disimpan.