Bisnis.com, JAKARTA — Pasar saham Indonesia mencatatkan kinerja kinclong pada 2025. Performa apik pasar saham banyak ditopang oleh lompatan saham-saham lapis kedua.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup menguat sebesar 22,13% sepanjang tahun berjalan (year to date/YtD) ke level 8.646,94 pada perdagangan terakhirnya, Selasa (30/12/2025).
IHSG pun dalam setahun mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah (all time high/ATH) sebanyak 24 kali. Catatan ATH teranyar IHSG tercapai pada 8 Desember 2025 di level 8.711.
Namun, di balik performa yang mencolok, terdapat ketimpangan struktural dalam penyumbang kenaikan pasar. Kenaikan IHSG tidak ditopang oleh saham-saham unggulan (blue chips) yang tergabung dalam indeks LQ45, IDX30, maupun indeks royal tebar dividen seperti IDX High Dividend 20. LQ45 hanya naik 2,41% YtD, IDX30 naik 3,25% YtD, dan IDX High Dividend 20 bahkan turun 0,41% YtD.
Justru, lonjakan pasar banyak didorong oleh saham lapis kedua dan ketiga, termasuk yang tergabung dalam indeks IDX SMC Composite yang melonjak 57,28% YtD, serta SMC Liquid yang tumbuh 18,29% YtD.
Dari sisi papan pencatatan, ketimpangan serupa juga terlihat. Saham-saham yang masuk di papan utama atau main board hanya naik 12,10%. Sementara, saham-saham di papan pengembangan atau development board melesat 111,48% dan papan akselerasi atau acceleration board melonjak 168,81%.
Customer Engagement & Market Analyst Department Head BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) Chory Agung Ramdhani menjelaskan dinamika pasar saham pada 2025 adalah reli tanpa napas big caps. Sebab, saham-saham big caps mengalami tekanan dari faktor eksternal dengan masifnya arus keluar atau capital outflow investor asing imbas dari ketidakpastian global dengan adanya eskalasi tarif perang dagang dari AS untuk beberapa negara mitra dagangnya khususnya China.
Kemudian, terdapat sentimen terkait dengan tingkat suku bunga The Fed maupun ketegangan politik Timur Tengah.
Lalu, banyak penggerak indeks pada 2025 adalah emiten terkait dengan grup konglomerasi yang sedang melakukan ekspansi masif, mulai dari hilirisasi hingga energi terbarukan. Karakteristik emiten tersebut seringkali tidak langsung masuk ke LQ45 atau IDX30 karena kriteria likuiditas historis atau periode pencatatan, sehingga penguatannya tercecer di luar indeks blue chip.
"Sepanjang 2025, partisipasi investor lokal juga tetap kuat. Sementara, investor ritel cenderung lebih lincah masuk ke saham-saham mid-caps yang memiliki volatilitas tinggi, sehingga mendorong kinerja indeks SMC melesat jauh melampaui indeks heavyweight," kata Chory kepada Bisnis pada Selasa (30/12/2025).
Dia menjelaskan pada 2026 terdapat peluang berbaliknya kondisi dengan penguatan pada saham-saham di indeks unggulan LQ45 serta IDX30.
Penguatan pada saham-saham unggulan itu didorong oleh estimasi dividen. Pada awal 2026, pasar akan beralih ke pengumuman laba tahun penuh 2025.
"Emiten blue chip perbankan besar dan consumer diproyeksi mencetak laba solid, sehingga ekspektasi dividen akan menjadi magnet bagi January Effect dan inflow asing," ujar Chory.
Kemudian, valuasi saham-saham blue chip juga sudah relatif murah karena tertinggal jauh selama 2025. Valuasi LQ45 saat ini berada di area yang sangat menarik. Beberapa sektor perbankan bahkan memiliki price to earning ratio (PER) di bawah rata-rata 5 tahun.
Secara historis, gap performa yang terlalu lebar antara indeks SMC dan LQ45 biasanya akan mengalami normalisasi atau mean reversion.
"Kelanjutan tren penurunan suku bunga oleh BI dan The Fed di 2026 akan menguntungkan emiten besar dengan struktur utang yang terukur dan ekspansi bisnis yang matang, yang mayoritas menghuni IDX30," ujar Chory.
Akan tetapi, terdapat tantangan pembalikan kondisi penguatan saham-saham blue chip. Tangangan, misalnya, datang dari likuiditas global, jika terjadi kejutan dari sisi makro global, misalnya inflasi AS yang kembali naik tak terduga. Investor asing kemudian akan menunda masuk ke pasar berkembang, yang secara langsung akan menghambat rebound saham big caps.
Lalu, emiten bluechip di sektor energi tetap dibayangi risiko normalisasi harga komoditas global yang bisa menekan pertumbuhan labanya pada 2026.
Sebelumnya, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Imam Gunadi mengatakan kinerja kinerja pasar saham Indonesia pada 2025 mencerminkan terjadinya rotasi minat investor ke saham lapis dua. Kondisi ini terjadi seiring dengan masih lebarnya diskon valuasi terhadap saham big caps.
"Secara karakter, saham lapis dua memiliki beta yang lebih tinggi sehingga lebih sensitif terhadap perubahan sentimen makro, khususnya ekspektasi penurunan suku bunga," kata Imam kepada Bisnis pada beberapa waktu lalu.
Dalam lingkungan suku bunga yang cenderung turun, sektor-sektor seperti properti, konstruksi, consumer non esensial, serta emiten berbasis leverage menengah cenderung menjadi penerima manfaat utama. Sebab, terdapat penurunan biaya pendanaan dan potensi akselerasi pertumbuhan laba. Faktor inilah yang turut mendorong minat investor ke saham lapis kedua sepanjang 2025.


/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2025%2F10%2F21%2F6986ea1b-5089-4583-8bae-a3a11e6a7296_jpg.jpg)


:strip_icc()/kly-media-production/medias/3458183/original/032221600_1621307158-5006160.jpg)