JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD telah menggelinding, suara penolakan terdengar.
Penolakan terhadap ide pilkada lewat DPRD itu disuarakan oleh pakar dan pemerhati pemilu, aktivis antikorupsi, pihak ormas keagamaan, serta oleh pihak parpol.
Baca juga: Gerindra Dukung Kepala Daerah Dipilih DPRD, Alasannya Lebih Efisien
Pakar pemiluPakar pemilu, Titi Anggraini, mengatakan ide pilkada tak langsung merupakan bentuk pengabaian sejarah dan kekeliruan berpikir.
Argumen pro-pilkada via DPRD yang dia patahkan adalah argumen politik uang di pilkada langsung.
Karena faktanya, dalam laporan Harian Kompas untuk pemilihan kepala daerah tahun 2000 saat pilkada via DPRD diterapkan, begitu banyak praktik politik uang yang berkelindan dan ongkos politik yang mahal.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=ICW, titi anggraini, PDIP, pilkada tak langsung, kepala daerah dipilih DPRD, wrapup, pilkada via dprd&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8zMS8xMDA0NDA2MS9sYW50YW5nLXN1YXJhLXBlbm9sYWthbi13YWNhbmEta2VwYWxhLWRhZXJhaC1kaXBpbGloLWRwcmQ=&q=Lantang Suara Penolakan Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `"Wacana menghapus pilkada langsung dengan alasan efisiensi biaya tidak hanya keliru secara empiris, tetapi juga mengabaikan pelajaran penting dari sejarah," ucap Titi kepada Kompas.com melalui pesan singkat, Selasa (30/12/2025).
Baca juga: Pilkada oleh DPRD, Pakar:Tak Hanya Keliru, tapi Juga Abai Sejarah
Titi merupakan pengjar hukum pemilu di Universitas Indonesia sekaligus aktivis Perludem.
Dia menilai pemilu tidak langsung semacam pilkada via DPRD menyimpang dari asas pemilihan umum.
Beragam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara eksplisit menegaskan rezim pemilihan kepala daerah sama dengan rezim pemilihan presiden, termasuk juga legislatif.
Hal ini tertuang dalam Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022, Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, Putusan MK No. 104/PUU-XXIII/2025, dan secara eksplisit dalam Putusan MK No. 110/PUU-XXIII/2025.
Karena itu, berlaku juga Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berlaku untuk semua jenis pemilu, termasuk Pilkada.
Lembaga antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), menolak usulan kepala daerah dipilih DPRD.
“Dilihat dari sisi manapun, wacana ini tidak beralasan dan justru mengandung logika yang mengkhawatirkan,” kata Staf Divisi Advokasi ICW Seira Tamara dalam keterangan tertulis, Selasa (30/12/2025).
Seira mengatakan, biaya politik yang tinggi yang membuat rawannya terjadi praktik politik uang tak bisa menjadi alasan wacana kepala daerah dipilih DPRD ini diwujudkan.
Baca juga: ICW Tolak Wacana Pilkada Lewat DPRD, Tak Hilangkan Politik Uang
Sebab, kata dia, biaya yang dikeluarkan negara untuk pelaksanaan Pilkada tak bisa hanya dilihat sebagai bentuk pemborosan yang kemudian menghalalkan penghapusan partisipasi publik dalam pemilihan.





