Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, kasus perampasan wilayah adat mengalami kenaikan sepanjang 2025. Hingga Desember, jumlah konflik mencapai 135 kasus, naik 12% dibandingkan tahun lalu. Paling banyak berkaitan dengan proyek pertambangan.
AMAN mencatat ada 69 kasus yang mencakup wilayah adat hingga 1,05 juta ha berkonflik dengan proyek pertambangan. Kemudian, terdapat 34 kasus terkait proyek perkebunan mencakup 1,95 juta ha wilayah adat dan 11 kasus terkait proyek infrastruktur mencakup 264.357 ha wilayah adat.
Ditambah dengan 11 kasus terkait konsesi kehutanan yang mencakup 52.816 ha wilayah adat; lima kasus terkait proyek energi mencakup 16.707 ha wilayah adat; tiga kasus terkait proyek pariwisata mencakup 17.383 ha wilayah adat; serta dua kasus terkait proyek pertanian mencakup 699.678 ha wilayah adat.
Konflik agraria yang tak kunjung usai ini, dinilai semakin parah pasca-UU Cipta Kerja ditetapkan. “UU Cipta Kerja yang secara sistematis melegitimasi perampasan wilayah adat untuk kepentingan investasi,” tulis AMAN dalam laporan “Di Tengah Krisis Berlapis: Masyarakat Adat Bertahan, Negara Mengabaikan”, dikutip Selasa, 310 Desember.
UU tersebut, menurut AMAN, membuat penetapan kawasan hutan negara dilakukan secara sepihak dan menciptakan ekspansi berbagai perizinan di wilayah adat. Akibatnya, masyarakat adat justru terusir dari ruang hidupnya.
“Penyelesaian sejati konflik agraria di wilayah adat hanya dapat dilakukan jika negara memiliki kemauan politik sepenuh hati untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat,” bunyi laporan tersebut.
Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat Kementerian Kehutanan, Julmansyah, mengatakan bahwa Kementerian Kehutanan tengah fokus menyelesaikan peta jalan percepatan hutan adat seluas 1,4 juta hektare. Luasan tersebut ditargetkan terpenuhi dalam empat tahun ke depan.
“Kami sudah bersepakat, teman-teman di CSO, AMAN, BRWA, HuMa, JKPP, kemudian Kementerian Kehutanan, akan menjadikan itu sebagai basis satu data,” jelasnya.




