EtIndonesia— Di beranda utara Nusantara, Kepulauan Sangihe kini menjadi saksi bisu atas drama penegakan hukum yang timpang. Meskipun warga telah memenangkan gugatan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA) untuk mencabut izin operasi pertambangan, deru alat berat dan aktivitas eksplorasi PT Tambang Masangihe (PTTMS) dilaporkan masih terus berlangsung. Sangihe, sebuah pulau kecil seluas 736 kilometer persegi yang seharusnya dilindungi undang-undang, kini tengah dipertaruhkan kedaulatannya di hadapan modal asing.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, wilayah dengan luas di bawah 2.000 kilometer persegi dikategorikan sebagai pulau kecil yang mutlak dilarang untuk ditambang. Kanti W. Janis, seorang pengacara publik sekaligus diaspora Sangihe, menilai upaya pemberian izin tambang di wilayah tersebut sebagai langkah yang sangat tidak masuk akal mengingat luasnya yang terbatas.
“Saya lihat izin yang mau dikasih itu sekitar 60 persen (dari luas pulau). Itu enggak masuk akal. Sangihe ini sangat kecil dan terisolasi. Kalau ada apa-apa, susah orang untuk menyelamatkan diri, apalagi di situ banyak gunung api yang aktif,” ujar Kanti W. Janis dalam sebuah wawancara mendalam DI KANAL Forum Keadilan TV (29/12/2025).
Kanti juga menyoroti bagaimana PT TMS, yang 70 persen sahamnya dimiliki oleh Baru Gold Corporation asal Kanada, seolah menjadi “negara dalam negara”. Meski izin lingkungan dan izin operasi produksi telah dibatalkan oleh putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah), perusahaan tersebut masih beroperasi dengan dalih Kontrak Karya tahun 1997.
Jejak Tragedi dan KriminalisasiKonflik ini tak hanya menyisakan kerusakan ekologis, tetapi juga luka kemanusiaan yang dalam. Kasus kematian Wakil Bupati Sangihe, Helmud Hontong, yang meninggal secara mendadak di dalam pesawat setelah menyerahkan surat penolakan tambang ke Jakarta, masih menyisakan kecurigaan besar bagi publik.
Kanti menceritakan kejanggalan di balik peristiwa tersebut:
“Dia meninggal muntah darah, padahal dia itu habis melakukan general check up dan dinyatakan sehat. Ini kok jadi kayak dimunirkan?” ungkapnya, merujuk pada gejala tidak biasa yang dialami almarhum.
Di sisi lain, warga yang berjuang mempertahankan tanahnya justru menghadapi represi. Seorang nelayan bernama Robinson Saul dijatuhi hukuman 10 bulan penjara hanya karena membawa pisau saat unjuk rasa—padahal pisau tersebut adalah alat kerjanya sehari-hari.
Kanti menilai aparat keamanan cenderung menjadi pelindung perusahaan daripada melindungi rakyat. Ia bahkan menyebut adanya oknum polisi aktif yang diduga menjadi pengacara sekaligus pemegang saham di perusahaan tersebut.
Ancaman “Genosida” LingkunganSecara ekologis, dampak pembukaan lahan sudah mulai terlihat nyata. Setidaknya 30 hektar hutan telah gundul, dan penggunaan bahan kimia seperti sianida serta merkuri dalam proses pemurnian emas mulai meracuni sumber air dan hasil laut warga.
“Saya ke sana November 2023… sudah satu keluarga keracunan. Airnya sudah semakin kering karena tambang ini menyerap air sangat banyak. Kolam sianidanya terbuka dan bau sekali,” kata Kanti memberikan gambaran lapangan,.
Kanti menambahkan bahwa eksploitasi ini merupakan bentuk ketidakadilan global, di mana perusahaan asing membuang limbah di Indonesia demi keuntungan di bursa saham internasional.
“Negara-negara seperti Kanada di mana-mana ngomong mereka green, sustainability… tapi di sini mereka meracuni alam kita, meracuni orang-orang kita. Jadi munafik banget, cuman duit aja,” tegasnya.
Menanti Wibawa NegaraKini, warga Sangihe hanya bisa menggantungkan harapan pada ketegasan Presiden dan Kapolri untuk mengeksekusi putusan pengadilan. Kanti menekankan bahwa masalah Sangihe bukan sekadar konflik agraria, melainkan isu kedaulatan nasional di wilayah perbatasan yang berbatasan langsung dengan Filipina dan Laut Cina Selatan,.
Tanpa langkah tegas untuk menghentikan operasi tambang ilegal tersebut, wibawa hukum Indonesia dianggap sedang dipertaruhkan di hadapan para “broker” saham internasional. (yud)



