Rentetan bencana alam yang terjadi di wilayah Sumatera dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari banjir bandang hingga tanah longsor, menunjukkan bahwa persoalan kebencanaan tidak berhenti pada kerusakan fisik. Di balik pembangunan infrastruktur dan distribusi bantuan, muncul persoalan lain yang jarang disorot, yakni suara masyarakat terdampak yang kerap tidak hadir secara utuh dalam wacana pemulihan bencana.
Dalam situasi pascabencana, ruang komunikasi publik menjadi sangat menentukan. Media massa dan media daring berperan besar dalam membentuk opini publik mengenai keberhasilan atau kegagalan pemulihan. Namun, dominasi narasi resmi sering kali menciptakan kesan bahwa pemulihan berjalan tanpa hambatan, meskipun di lapangan masih terdapat banyak persoalan sosial dan ekonomi yang dialami warga terdampak.
Artikel ini menggunakan kerangka Spiral of Silence Theory yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann untuk membaca dinamika komunikasi publik dalam pemulihan bencana di Sumatera. Teori ini menjelaskan kecenderungan individu untuk memilih diam ketika merasa pendapatnya berbeda dari opini mayoritas demi menghindari isolasi sosial.
Dalam liputan bencana di berbagai wilayah Sumatera,baik banjir bandang maupun longsor ,media arus utama kerap menempatkan pernyataan pejabat dan data resmi sebagai sumber utama. Narasi mengenai progres bantuan, pembangunan hunian sementara, serta normalisasi kehidupan sosial disampaikan secara masif dan berulang. Pola ini secara tidak langsung membangun kesan bahwa negara hadir sepenuhnya dan pemulihan berjalan sesuai rencana.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa Sumatera termasuk wilayah dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi, terutama bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Tingginya frekuensi bencana membuat proses pemulihan sering kali tumpang tindih dengan kejadian baru, sehingga persoalan di tingkat masyarakat terus berulang.
Di tengah dominasi narasi keberhasilan tersebut, pengalaman warga terdampak sering kali luput dari perhatian. Keluhan terkait bantuan yang tidak merata, proses pendataan yang berbelit, hingga kebijakan relokasi yang tidak mempertimbangkan mata pencaharian lokal jarang muncul sebagai wacana utama. Ketika suara-suara ini tidak mendapatkan ruang, terbentuklah ilusi konsensus bahwa semua pihak sepakat pemulihan telah berjalan optimal.
Teori Spiral of Silence menjelaskan bahwa individu cenderung memilih diam ketika merasa pendapatnya bertentangan dengan opini dominan di ruang publik. Dalam konteks pascabencana di Sumatera, kondisi ini tampak ketika warga enggan menyampaikan kritik karena khawatir dianggap tidak bersyukur atau menghambat upaya pemulihan.
Situasi psikologis korban bencana yang masih berada dalam kondisi rentan memperkuat spiral ini. Ketergantungan terhadap bantuan dan aparat membuat sebagian warga memilih menyesuaikan diri dengan narasi mayoritas, meskipun realitas yang mereka alami tidak sepenuhnya sejalan dengan gambaran di media.
Media sosial sering dipandang sebagai ruang alternatif bagi masyarakat untuk menyuarakan pengalaman personal. Di wilayah terdampak bencana Sumatera, sejumlah warga menggunakan platform digital untuk menceritakan kondisi lapangan, mulai dari keterbatasan logistik hingga ketidakpastian tempat tinggal.
Algoritma media sosial justru berpotensi memperkuat Spiral of Silence. Unggahan yang sejalan dengan narasi resmi lebih mudah mendapatkan perhatian, sementara kritik yang berbeda berisiko tenggelam atau memicu respons negatif dari warganet. Tekanan sosial di ruang digital ini membuat sebagian korban kembali memilih diam.
Pemulihan bencana tidak hanya berkaitan dengan pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga pemulihan sosial, ekonomi, dan psikologis masyarakat. Ketika suara korban tidak terwakili, kebijakan pemulihan berisiko tidak tepat sasaran.
Pengetahuan lokal yang dimiliki warga terdampak, seperti pola mata pencaharian, kondisi geografis, dan kebutuhan komunitas,seharusnya menjadi dasar penting dalam perumusan kebijakan. Tanpa mendengarkan suara ini, pemulihan bencana berpotensi menciptakan ketimpangan baru dan memperpanjang kerentanan masyarakat di wilayah rawan bencana seperti Sumatra.
Bencana di Sumatera memperlihatkan bahwa persoalan kebencanaan juga merupakan persoalan komunikasi publik. Jika Spiral of Silence terus dibiarkan dalam wacana pemulihan, maka yang pulih mungkin hanya bangunan fisik, bukan keadilan sosial. Media dan pemerintah perlu membuka ruang komunikasi yang lebih inklusif agar suara warga terdampak menjadi bagian penting dalam proses pemulihan.


