Rekonstruksi Ukraina Pasca Perang oleh China: Kebutuhan Ekonomi dan Resikonya

kumparan.com
4 jam lalu
Cover Berita

Dengan melihat begitu masifnya kerusakan yang ditimbulkan Perang Rusia-Ukraina, perhatian dunia mulai bergeser menuju siapa yang akan membangun kembali Ukraina dan dengan harga apa? Karena biaya rekonstruksi Ukraina diperkirakan menyentuh lebih dari 500 Miliar US Dollar dalam satu dekade ke depan, angka ini jauh melampaui kapasitas fiskal domestik Ukraina dan bahkan menekan kemampuan negara-negara Barat untuk menanggungnya juga. Dan karena inilah muncul kekhawatiran bahwasannya komitmen Amerika Serikat dan Uni Eropa yang telah menjadi tulang punggung dukungan untuk Ukraina tidak akan cukup berkelanjutan, baik secara politik dan ekonomi.

Dan dari celah inilah, China muncul sebagai aktor alternatif. Beijing, melalui berbagai pernyataan resmi dan peace plan 12 poinnya, menyatakan kesiapan untuk berkontribusi dalam rekonstruksi Ukraina. Presiden Volodymyr Zelenskyy sendiri pernah menyebut bahwa kerja sama dengan China bisa bersifat saling menguntungkan.

Akan tetapi kalau melihat manuver China lewat instrumen investasinya, China tidak netral secara geopolitik. Investasi China, khususnya dalam infrastruktur strategis seperti energi, pelabuhan, dan telekomunikasi, sering kali disertai konsekuensi politik jangka panjang. Kita ambil saja contoh negara-negara seperti Yunani, Serbia, dan Rumania.

Di Yunani, investasi China di Pelabuhan Piraeus diikuti oleh sikap politik Athena yang lebih lunak terhadap Beijing di forum Uni Eropa. Di Serbia, proyek teknologi dan smart city China memicu kekhawatiran soal keamanan data. Sementara di Rumania, kerja sama nuklir dengan China akhirnya dibatalkan karena pertimbangan keamanan nasional. Rangkaian contoh ini digunakan untuk menegaskan bahwa rekonstruksi Ukraina berpotensi menjadi pintu masuk baru bagi pengaruh strategis China di Eropa.

Lebih dalam lagi, pengalaman Belt and Road Initiative (BRI) China di Balkan menjadi perbandingan yang relevan. Di kawasan ini, China menawarkan pembiayaan infrastruktur besar di tengah keterbatasan dana Uni Eropa dan lembaga keuangan internasional. Proyek kereta api Budapest–Beograd, jalan tol di Montenegro, hingga berbagai investasi energi menunjukkan pola yang relatif seragam yaitu pendanaan cepat, kontrak yang kerap kali minim transparansi, dan ketergantungan jangka panjang.

Kasus Montenegro sering dijadikan contoh. Negara ini menanggung beban utang besar akibat proyek jalan tol yang dibiayai pinjaman China, hingga akhirnya meminta bantuan Uni Eropa untuk restrukturisasi. Di sisi lain, proyek kereta api Budapest–Beograd dikritik karena manfaat ekonominya yang terbatas namun bernilai strategis tinggi bagi konektivitas China di Eropa.

Pengalaman Balkan menunjukkan bahwa BRI bukan semata proyek pembangunan, melainkan juga instrumen geopolitik. Dalam konteks Ukraina, pola serupa bisa terulang apalagi China melihat peluang dari kebutuhan mendesak pasca perang untuk merekonstruksi. Ini membuka ruang bagi investasi China apalagi jika kapasitas negara yang sedang memulihkan diri membatasi kemampuan untuk melakukan screening ketat terhadap proyek strategis.

Bagi Uni Eropa, keterlibatan China dalam rekonstruksi Ukraina menghadirkan dilema strategis. Di satu sisi, UE mendukung pemulihan Ukraina sebagai bagian dari stabilitas kawasan dan perluasan pengaruh normatif Eropa. Di sisi lain, masuknya China ke sektor infrastruktur kritis Ukraina berpotensi melemahkan agenda integrasi Eropa seperti yang terjadi di Balkan. Uni Eropa selama ini sudah menaruh kecurigaan terhadap investasi China, terlebih yang di ranah telekomunikasi, energi, hingga pelabuhan.

Bukan hanya soal keamanan data saja, tetapi juga fragmentasi posisi politik Uni Eropa, seperti yang pernah terjadi saat Yunani memveto pernyataan Uni Eropa terkait HAM China. Jika Ukraina yang bercita-cita menjadi anggota UE, justru bergantung pada modal China untuk membangun infrastruktur strategisnya, maka proses integrasi tersebut bisa menjadi semakin kompleks. UE akan menghadapi paradoks yaitu di antara mendukung Ukraina secara politik dan menghadapi pengaruh China yang masuk ke Eropa Timur apabila investasi ini terjadi.

Dilihat dalam aspek geopolitik yang lebih luas, Ukraina berada di posisi sulit. Rusia tetap menjadi ancaman keamanan utama, berupaya mempertahankan pengaruhnya dan mencegah Ukraina sepenuhnya berlabuh ke Barat. Amerika Serikat melihat Ukraina sebagai bagian penting dari arsitektur keamanan Eropa dan upaya menahan Rusia, sekaligus membatasi ekspansi pengaruh China.

Sementara China akan main secara halus, China memang tidak terlibat secara langsung dalam konflik, akan tetapi menjadi aktor pasca-perangnya sebagai penyedia modal, teknologi, dan rekonstruksi. Pendekatan ini memungkinkan China memperluas pengaruhnya tanpa konfrontasi terbuka dengan Barat, sekaligus memperkuat posisinya di Eropa layaknya yang terjadi di Balkan.

Untuk Ukraina, strategi hedging nampak sebagai hal yang rasional. Menerima bantuan dari berbagai pihak demi percepatan rekonstruksi. Namun, strategi ini juga berisiko. Tanpa koordinasi yang kuat dari Barat, Ukraina bisa terjebak dalam ketergantungan ekonomi baru yang membatasi otonomi kebijakan luar negerinya di masa depan. Pada akhirnya, Ukraina tetap menghadapi dilema yang sama yaitu ketergantungan eksternal. Rekonstruksi berskala ratusan miliar dolar hampir mustahil dilakukan tanpa konsorsium internasional. Jika Barat tidak mampu atau tidak mau menanggung beban utama, China akan semakin sulit dihindari.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Teddy Rapihkan Komunikasi, Prabowo Kunjungi Lokasi Bencana Saat Tahun Baru
• 4 jam lalujpnn.com
thumb
Legenda PSM Resmi Latih Persela Lamongan
• 6 jam lalucelebesmedia.id
thumb
Ketika Gen Z Perempuan Suka Naik Gunung daripada ke Mall
• 1 jam lalukumparan.com
thumb
Pencarian Tiga WNA Spanyol di Perairan Labuan Bajo Diperluas
• 22 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Sebanyak 10 negara suarakan kekhawatiran atas situasi kemanusiaan di Gaza
• 3 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.