Ada satu hal yang jarang dipertanyakan dalam kehidupan sehari-hari: mengapa perempuan harus selalu bisa banyak hal, sementara laki-laki yang tidak bisa mengurus pekerjaan rumah justru dianggap biasa? Ketimpangan ini tidak hadir tiba-tiba. Ia tumbuh, dipelihara, dan dinormalisasi dari rumah ke rumah, dari generasi ke generasi.
Beban Serba Bisa yang Sejak Lama Dianggap Wajar
Sejak kecil, perempuan kerap dibesarkan dengan tuntutan serba bisa. Ia harus tahu cara memasak, membersihkan rumah, mengurus adik, menjaga sikap, sekaligus tetap rajin belajar. Ketika gagal memenuhi salah satu peran itu, label “tidak becus” mudah disematkan. Perempuan dinilai dari seberapa mampu ia memenuhi ekspektasi sosial, bukan dari siapa dirinya sebenarnya.
Sebaliknya, anak laki-laki yang tidak bisa menyapu atau memasak sering kali dibela dengan satu kalimat sederhana: maklum, namanya juga laki-laki. Ketidakmampuan mereka tidak dianggap sebagai masalah, melainkan sesuatu yang akan “dipelajari nanti” atau bahkan tidak perlu dipelajari sama sekali.
Pola ini terus berlanjut hingga dewasa. Banyak perempuan yang sudah bekerja di ruang publik, namun tetap diposisikan sebagai penanggung jawab utama urusan domestik. Lelahnya kerap tak terlihat, karena pekerjaan rumah dianggap kewajiban alami, bukan kerja yang membutuhkan waktu dan tenaga.
Ketika Ketidakmampuan Laki-laki Dinormalisasi oleh Budaya
Yang lebih problematis, ketidakmampuan laki-laki justru dinormalisasi oleh budaya. Laki-laki yang tidak bisa memasak, mencuci, atau mengurus rumah tangga jarang dianggap gagal. Bahkan ketika mereka “membantu” pekerjaan rumah, pujian sering kali datang berlebihan, seolah itu adalah tindakan luar biasa, bukan tanggung jawab bersama.
Standar ganda ini secara perlahan membebaskan laki-laki dari tanggung jawab domestik, sekaligus membebani perempuan dengan ekspektasi yang tidak ada habisnya. Perempuan dituntut serba bisa, sementara laki-laki diberi ruang untuk tidak mampu tanpa konsekuensi sosial yang berarti.
Padahal, pekerjaan rumah bukanlah kodrat biologis. Ia adalah keterampilan hidup dasar yang bisa dipelajari oleh siapa saja. Ketika hanya satu gender yang diwajibkan menguasainya, ketimpangan berubah menjadi sesuatu yang tampak normal, meski sejatinya tidak adil.
Sudah saatnya pertanyaan ini diajukan dengan jujur: mengapa perempuan selalu dituntut, sementara laki-laki selalu dimaklumi? Selama standar ganda ini terus dipelihara, kesetaraan akan berhenti sebagai slogan. Keadilan baru benar-benar hadir ketika tanggung jawab dibagi setara, dan kemampuan tidak lagi diukur berdasarkan gender, melainkan sebagai bagian dari menjadi manusia dewasa.




