tvOnenews.com - Nama Tony Sucipto menjadi salah satu potongan penting dalam sejarah sepak bola Indonesia.
Ia bukan sekadar pemain yang berpindah klub, tetapi figur yang pernah berada di tengah rivalitas terbesar Tanah Air: Persib Bandung dan Persija Jakarta.
Sebagai pemain bertahan yang juga piawai bermain di lini tengah, Tony dikenal berkat etos kerja tinggi, kedisiplinan, serta kemampuannya membaca permainan.
Karier panjangnya membuat ia dihormati sebagai pemain berpengalaman yang selalu memberi kontribusi nyata di setiap klub yang dibelanya.
Perjalanan profesional Tony dimulai pada 2004 bersama Persijatim Solo FC.
Namanya mulai benar-benar diperhitungkan saat hijrah ke Sriwijaya FC setahun berselang.
Bersama klub asal Palembang tersebut, Tony berkembang pesat dan menjelma menjadi pemain penting.
Puncaknya terjadi pada musim 2007/2008, ketika ia merasakan gelar juara liga pertamanya, sebuah pencapaian yang mengangkat namanya ke level lebih tinggi.
Performa konsisten itu membuka jalan baginya menuju Persija Jakarta pada 2010.
Meski hanya bertahan satu musim, Tony tetap meninggalkan catatan positif lewat puluhan penampilan dan kontribusi gol dari lini belakang.
Tahun 2011 menjadi titik balik karier Tony Sucipto. Ia resmi berseragam Persib Bandung dan menetap cukup lama, delapan musim, hingga menjadikannya salah satu ikon Maung Bandung pada masanya.
Di Bandung, Tony tak hanya menjadi pemain inti, tetapi juga simbol ketangguhan tim.
Ia ikut mengantar Persib meraih gelar Liga Super Indonesia 2014 dan Piala Presiden 2015.
Musim 2013 menjadi salah satu periode tersibuknya, saat ia hampir tak tergantikan di skuad utama.
Kecintaan suporter terhadapnya terlihat jelas. Bobotoh bahkan pernah memasukkan Tony dalam daftar pemain yang dianggap wajib dipertahankan demi kejayaan klub, sebuah bentuk penghormatan yang jarang diberikan.
Setelah bertahun-tahun identik dengan Persib, keputusan Tony kembali ke Persija Jakarta pada 2019 mengejutkan banyak pihak.
Reaksi keras pun tak terhindarkan, terutama dari pendukung Persib yang merasa kehilangan figur penting.
Namun Tony memilih bersikap tenang. Ia menegaskan kepindahannya dilandasi profesionalisme, meski mengakui ada rasa canggung di balik keputusan tersebut.




