Musim liburan mestinya jadi momen melepas penat. Tapi setiap kali arus wisatawan memadati destinasi, satu masalah klasik kembali muncul: ruang wisata belum sepenuhnya aman dari pemerasan. Bukan sekadar soal promosi atau fasilitas, tapi ketiadaan ketegasan negara di gerbang wisata.
Pertanyaannya jadi sederhana: siapa yang sebenarnya berkuasa di ruang wisata kita?
Ketika Bertanya Karcis Bisa Berujung Pukulan
Akhir Desember 2025, seorang wisatawan di Pantai Santolo, Garut, dianiaya karena mempertanyakan legalitas karcis masuk. Bukan insiden tunggal, Bandung punya parkir “getok harga”, Anyer pernah ramai pungutan berlapis.
Dalam kriminologi, ini cocok dengan Broken Windows Theory: pembiaran pelanggaran kecil membuat pelanggaran lebih besar tumbuh. Efeknya terasa- destinasi dengan pungli tinggi bisa kehilangan 30-40% kunjungan ulang.
Wajah lebam di Santolo adalah puncak dari jendela ketertiban yang dibiarkan retak terlalu lama.
Aji Mumpung yang Terus Menggoda
Kenapa praktik ini bertahan?
Jawabannya: rasional dan menguntungkan.
Menurut Rational Choice Theory, pelaku hanya menghitung untung-rugi.
keuntungan instan: ada
risiko hukuman: kecil
ditindak kalau viral? ya, tapi tidak selalu
Sementara itu, laporan indeks kepuasan wisatawan 2025 menunjukkan keamanan dan transparansi biaya jadi skor terendah, dan invisible cost 5-8% belanja wisatawan menguap ke kantong oknum, bukan PAD.
Selama negara hadir belakangan, premanisme tetap pilihan ekonomi yang menarik.
Reputasi Hancur Lebih Cepat dari Promosi
Dalam Travel & Tourism Development Index (TTDI), keamanan adalah pondasi reputasi destinasi.
Satu video viral soal pemerasan bisa menurunkan minat kunjungan hingga 15% dalam tiga bulan.
Pariwisata adalah bisnis kepercayaan. Infrastruktur megah tidak banyak berarti kalau wisatawan pulang dengan rasa takut.
Inilah akar stigma yang makin sering muncul: “sekali datang, tak ingin kembali.”
Empat Cara Negara Bisa Balik Menguasai Gerbang Wisata
Masalahnya bukan sekadar preman, tapi sistem yang memberi ruang. Dibutuhkan langkah yang memutus insentif ekonomi premanisme.
1. Digitalisasi total tanpa celah
Semua transaksi nontunai. Tutup arus uang tunai liar yang jadi sumber rente.
2. Formalisasi dan bagi hasil lewat BUMDes
Rangkul warga jadi pelaku resmi. Saat ada sense of ownership, warga sendiri jadi pagar pertama menjaga kenyamanan tamu.
3. Label destinasi merah–kuning–hijau
Destinasi yang membiarkan pungli diberi label terbuka di platform daring. Tekanan pasar akan memaksa perubahan.
4. Zero tolerance untuk kekerasan
Kasus Santolo harus tuntas sebagai sinyal. Polisi Pariwisata harus hadir permanen, bukan hanya pasca-viral.
Tanpa empat langkah ini, premanisme akan terus “menyapa” wisatawan di pintu masuk.
Pelajaran dari Nglanggeran dan Penglipuran
Desa Wisata Nglanggeran (Yogyakarta) dan Penglipuran (Bali) membuktikan bahwa premanisme bisa hilang bukan karena ditakuti, tapi karena tidak lagi menguntungkan.
Nglanggeran: pemuda lokal jadi pemandu, penjaga konservasi, pengelola parkir resmi, bagi hasil transparan
Penglipuran: tiket satu pintu + adat kuat menutup ruang pungli
Ketika warga merasa memiliki masa depan destinasi, oknum otomatis tersingkir.
Premanisme kalah bukan oleh senjata, tapi oleh sistem yang adil.
Penutup: Datanglah Sebelum Viral
Pariwisata menjual pemandangan, tapi wisatawan membeli rasa aman.
Kalau negara terlambat hadir, reputasi lebih dulu runtuh.
Kedaulatan ruang wisata tidak boleh diperdagangkan.
Karena karcis harus jadi kontribusi pembangunan, bukan “jatah” preman.




