FAJAR, MAKASSAR – Dunia seni dan budaya Sulawesi Selatan berduka. Maestro seni pertunjukan tradisional, M. Arsyad K atau Daeng Aca’, berpulang ke Rahmatullah pada Senin, 29 Desember 2025.
Almarhum dikenal luas sebagai Ketua Sanggar Seni Tradisional I Lologading Paropo sekaligus pelestari berbagai warisan budaya tak benda Sulsel.
Daeng Aca merupakan figur sentral dalam pelestarian dan pengembangan seni tradisional Makassar, di antaranya Ganrang Bulo, Tari Pepe-pepeka Ri Makka, serta teater rakyat Kondobuleng.
Dedikasinya selama puluhan tahun menjadikannya salah satu tokoh seni yang berpengaruh, tidak hanya di Makassar, tetapi juga di tingkat nasional hingga internasional.
Ucapan duka dan penghormatan datang dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan pegiat seni.
Salah satunya disampaikan oleh Dr. Asia Ramli Prapanca, M.Pd, dosen Sendratasik, sutradara Teater Kita Makassar, sekaligus Ketua Forum Sastra Kepulauan.
“Saya mengenal Daeng Aca sejak awal tahun 1981. Saat itu beliau bekerja di Taman Budaya dan telah memimpin Sanggar Seni Tradisional di Kampung Paropo,” ujar Asia Ramli.
Menurutnya, Daeng Aca bukan sekadar pelaku seni, tetapi juga pembina dan pendidik.
Ia secara konsisten melatih generasi muda dalam berbagai cabang seni tradisional, mulai dari ganrang bulo, tari si’ru, tari pepe-pepe ri makkah, musik dan tari tradisional, hingga teater rakyat Kondobuleng.
“Banyak anak-anak muda binaannya kemudian tumbuh menjadi pelaku seni mandiri, bahkan mendirikan sanggar-sanggar seni baru di Paropo,” lanjutnya.
Kiprah Daeng Aca bersama sanggarnya telah mengantarkannya tampil di berbagai festival seni, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Atas dedikasinya, ia menerima sejumlah penghargaan, termasuk pengakuan sebagai maestro seni tradisional Makassar dengan kontribusi besar terhadap pelestarian budaya Sulawesi Selatan.
Asia Ramli juga mengenang keterlibatannya mendampingi Daeng Aca pada tahun 2019 saat menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Direktorat Kesenian, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI.
Kerja sama tersebut terkait partisipasi Sanggar Seni Tradisional I Lologading dalam Pertemuan Teater Nasional (PTN) di Samarinda.
“Saat itu kami membawa 16 orang anggota sanggar untuk mementaskan teater Kondobuleng. Semua difasilitasi oleh kementerian,” kenangnya.
Teater Kondobuleng sendiri menjadi salah satu warisan penting Daeng Aca. Asia Ramli bahkan meneliti teater tersebut selama bertahun-tahun hingga menjadi disertasinya.
Ia mengungkapkan, sejak usia sekitar 10 tahun, Daeng Aca sudah dipercaya memimpin pertunjukan Kondobuleng yang seluruh pemainnya berasal dari rumpun keluarga.
Dalam setiap kesaksiannya, Daeng Aca dikenal memegang teguh nilai kejujuran dan kebenaran. “Tojengngaji kulle dipau,” kata Asia menirukan pesan almarhum, yang bermakna hanya kebenaranlah yang patut diucapkan.
Selain kiprah seninya, Daeng Aca juga dikenal sebagai tokoh panutan di lingkungan keluarga dan masyarakat Paropo.
Ia dinilai jujur, rendah hati, dan mudah beradaptasi dengan berbagai kalangan, termasuk sesama seniman maupun institusi pemerintah seperti dinas kebudayaan, pariwisata, pendidikan, hingga Taman Budaya.
Dalam kehidupan dan karya seninya, Daeng Aca memanifestasikan nilai pangngadakkang, yakni pandangan hidup masyarakat Makassar yang menjunjung tinggi siri’ (harga diri), kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab sosial. Nilai tersebut diwariskannya melalui sanggar dan kehidupan bermasyarakat.
“Beliau dan anggota Sanggar Seni Tradisional I Lologading memegang adat secara total sebagai sistem nilai hidup. Inilah yang membuat kesenian tradisional yang mereka rawat mampu bertahan hingga hari ini,” kata Pak Ram sapaannya.
Kepergian Daeng Aca meninggalkan duka mendalam, sekaligus warisan budaya yang tak ternilai bagi Sulawesi Selatan. (Irm)



