WALHI: Tutupan Hutan yang Hilang Sebabkan Bencana Alam di Sumatra

katadata.co.id • 13 jam yang lalu
Cover Berita

Ekspansi industri ekstraktif dinilai menjadi faktor utama meningkatnya bencana ekologis seperti banjir dan longsor yang terjadi di Sumatra beberapa waktu terakhir.

Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) untuk isu Hutan dan Perkebunan, Uli Artha, menyatakan cuaca ekstrem bukan penyebab utama bencana tersebut. Yang lebih berdampak adalah hilangnya tutupan hutan akibat aktivitas industri ekstraktif.

“Menurut kami faktor cuaca ekstrem itu bukan faktor utama ya, dia hanya sebagai faktor pendorong. Tetapi, penyebab utama kita adalah kerentanan ekologis yang semakin tahun itu semakin tinggi kerentanannya,” ujar Uli kepada Katadata.co.id, Jumat (28/11).

Menurutnya, kerentanan ekologis meningkat akibat masifnya izin industri ekstraktif yang menggerus kawasan penting ekosistem. Landscape Bukit Barisan yang membentang di Sumatra disebut memiliki fungsi ekologis yang genting. Namun, pengelolaannya dinilai bermasalah.

“Kalau melihat konteks Sumatra itu sebenarnya satu landscape Bukit Barisan itu adalah landscape ekologis yang punya fungsi penting dan genting. Jadi kalau misalnya landscape Bukit Barisan ini salah urus oleh pemerintah, dia akan berdampak besar dalam konteks bencana ekologis,” kata Uli.

Menurut data Global Forest Watch, dari 2002 sampai 2024, Sumatra Utara kehilangan 390.000 hektare (ha) hutan primer basah, menyumbang 25% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Sumatra Utara berkurang 19% dalam periode waktu ini.

Sumatra Barat kehilangan 320.000 ha hutan primer basah, menyumbang 44% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Sumatera Barat berkurang 14%.

Sedangkan Aceh kehilangan 320.000 ha hutan primer basah, menyumbang 38% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Aceh berkurang 9%

Uli menilai banjir besar yang melanda sejumlah wilayah seperti Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat menjadi bukti bahwa izin-izin tambang, sawit, hingga proyek energi yang masif telah memperbesar risiko bencana.

Ia menyebut deforestasi memiliki kontribusi besar terhadap tingginya intensitas banjir dan longsor. Hilangnya tutupan hutan menyebabkan fungsi tata air rusak sehingga air tidak lagi terserap atau tertahan.

“Nah, kalau misalnya hutannya hilang berubah fungsi atau berubah peruntukan, sebenarnya fungsi dia dalam menata air itu juga hilang gitu,” ujar Uli.

WALHI Sumatra Utara mencatat sejumlah kehilangan tutupan hutan di kawasan Batang Toru akibat aktivitas perusahaan. Di wilayah operasi PT AR dari 2015–2024, setidaknya 300 hektare hutan hilang. Proyek PLTA juga menghilangkan 350 hektare tutupan hutan di area yang sama.

“Jadi semakin tinggi kehilangan tutupan hutan maka sebenarnya semakin rentan juga wilayah tersebut,” tegasnya.

Selain pertambangan dan proyek energi, ekspansi sawit turut memperburuk kondisi hidrologis. Uli menilai perkebunan monokultur tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan.

“Kita tahu bahwa sawit itu fungsinya bukan mengatur tata air tapi justru sebenarnya merusak siklus air. Makanya, ketika hutan berubah menjadi monokultur sawit, banjir dan longsor itu pasti sebuah keniscayaan yang terus menerus akan berulang,” ucapnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.