Bagi Fitrah Nusantara, lulusan Fakultas Hukum dengan predikat nyaris cum laude yang terlanjur mencintai aroma tinta dan kertas koran sejak SD, dunia jurnalistik adalah panggilan jiwa—meski sedikit salah jurusan. Otaknya yang cerdas, dan tak kenal menyerah membuatnya yakin bisa menaklukkan kerasnya dunia berita, mengira wartawan hanya butuh pasal dan retorika.
Berbekal predikat lulusan hukum mentereng dan ambisi membara menjadi jurnalis profesional, Fitrah mengira tugas pertamanya adalah membongkar korupsi kelas kakap, meliput intrik politik, skandal korporasi, atau setidaknya, sidang paripurna yang membosankan tapi berwibawa.
Namun, takdir, yang sepertinya punya selera humor buruk, berkata lain. Di hari pertamanya sebagai wartawan magang di redaksi ‘Kabar Kilat’, Artop Narayan, biasa disapa dengan panggilan Bos Top—seorang redaktur senior, memberinya misi suci.
"Fit, anak hukum!" sapa Bos Top, tanpa basa-basi. "Misi mu: Liputan human interest di UGD RS Mitra Keluarga Waras. Buat pembaca netesin air mata sambil ngakak guling-guling sekaligus. Deal..?!" ucapnya tegas.
Ngakak di UGD? Fitrah curiga Bos Top habis kebanyakan minum air rendaman jengkol. Tapi, pantang menyerah adalah nama tengahnya. Berbekal recorder jadul peninggalan Orde Baru dan mental baja, dia langsung melaju ke TKP.
Setibanya di lokasi, Suasana UGD langsung menyergapnya. Bau karbol yang menyengat, suara monitor jantung yang beep-beep konstan, dan drama manusia yang tumpah ruah. Ini bukan ruang sidang. Ini arena perang emosi dengan bau kurang sedap.
Fitrah memulai perburuannya. Sasaran pertama; seorang bapak yang mondar-mandir kayak setrikaan panas, persis seperti terdakwa yang menunggu vonis.
“Permisi, Bapak, bisa diceritakan kronologisnya?” Fitrah menyalakan recorder dengan gestur ala jurnalis investigasi kelas kakap.
Bapak itu menoleh, matanya sembap, nyaris copot. "Anak saya, Mas! Tangannya kejepit mesin giling bakso! Hiks... anak saya!"
Fitrah, dengan otak hukumnya yang encer, langsung mencari celah regulasi, seolah-olah diajak berdebat di pengadilan. "Oh, mesin giling bakso. Itu jelas melanggar UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pasal bla..bla..bla… dan bisa kita gugat perdata!"
"Woy! Anak saya kejepit, bukan sidang gugatan!" Bapak itu melotot, siap melempar Fitrah dengan asbak. "Mending bantu doa daripada ngutip pasal! Pengacara gadungan!" cetusnya.
Seorang perawat cantik, Arine Yuliana Namanya (terlihat dari nametag yang dikenakan), melirik sinis ke arah Fitrah. "Mas, di sini area steril dari pasal-pasal, ya. Tolong jangan bikin keributan, ini bukan ruang sidang MK."
Gagal di TKP bakso, Fitrah geser posisi. Dia melihat sepasang suami istri muda yang tampak panik luar biasa. Wajah sang istri sudah banjir air mata, dramanya sudah level FTV prime time. Nah, ini pasti drama perceraian atau KDRT yang butuh bantuan hukum, pikir Fitrah narsis.
"Permisi Bu, Pak, ada masalah apa gerangan?" Fitrah memasang wajah paling simpatik yang dia punya, meniru gaya pengacara kondang di TV.
Sang suami, dengan wajah semerah tomat busuk, menunjuk ke sebuah kandang kucing kecil bermotif Hello Kitty yang diletakkan hati-hati di lantai. "Kucing kami, Mas! Dia ditabrak truk semen! Hiks... Meonggar!"
Fitrah terdiam sejenak. Dia memastikan dia tidak salah dengar. "Kucing? Ini UGD RS Mitra Keluarga Waras, bukan drh. Rajanti."
"Iya! Namanya Meonggar! Dia udah kayak anak sulung kami, Mas!" ratap sang istri, air matanya makin deras mengalir, menenggelamkan lantai UGD.
"Tapi, Bu, ini UGD manusia," Fitrah mencoba menjelaskan seadanya, akal sehatnya mulai overheat.
"Ya terus kenapa?! Dia kan makhluk hidup juga! Dia sudah kami anggap seperti anak sendiri! Dia butuh P3K hukum!" tangis ibu itu makin kencang, suaranya mengalahkan sirine ambulans.
Fitrah ngeloyor pergi, memutuskan lebih baik diinterogasi dosen killer lima jam daripada meladeni orang panik pecinta kucing militan.
Malam semakin larut, dan Fitrah belum mendapatkan kisah human interest yang pas. Pikirannya buntu total. Dia duduk di bangku tunggu, merenung, ketika matanya menangkap sesuatu yang ajaib.
Seorang kakek tua duduk tenang di pojokan, sibuk memainkan ponsel pintarnya, fokusnya melebihi hakim konstitusi. Di sebelahnya, seorang nenek mengomel, suaranya seperti kaset kusut.
Fitrah yang cerdik melihat peluang, secercah harapan di kegelapan UGD. Dia mendekat perlahan. "Nenek, kakek, apa kabar? Ada yang bisa saya bantu dengan pasal-pasal hukum?"
"Baik, Mas," jawab kakek ramah, tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya yang memancarkan cahaya hijau terang.
"Nenek kok kelihatan kesal?" tanya Fitrah, memasang jurus wawancara investigatif.
Nenek itu mendengus, melipat tangan di dada. "Ini, Mas, Kakekmu! Katanya sakit pinggang parah, makanya saya bawa ke UGD. Drama banget, nangis-nangis di rumah. Eh, di sini malah asyik main game! Bilangnya mau baca Quran di aplikasi, tapi malah main Candy Crush level 500! Saya dikerjain kan?!"
Fitrah menahan tawa, kali ini air mata haru dan geli mulai muncul di pelupuk matanya. “Jackpot!” gumamnya.
Dengan sigap, Fitrah mengeluarkan catatan dan recorder jadulnya. Dia mewawancarai Nenek dan Kakek lebih dalam, menggali aspek-aspek lucu dari hubungan mereka yang sudah puluhan tahun terjalin, dan bagaimana teknologi—dan kebohongan kecil kakek—mengubah ‘drama’ UGD mereka menjadi komedi romantis. Kakek, dengan cerdasnya, berdalih bahwa bermain game bisa mengalihkan rasa sakitnya, sebuah ‘terapi’ alternatif yang tak diajarkan di fakultas kedokteran mana pun, apalagi fakultas hukum.
Fitrah pulang dengan senyum lebar dan hati yang hangat. Tulisannya mengalir, lucu, dan menyentuh, persis seperti yang diinginkan Bos Top. Dia berhasil memanfaatkan kesempatan dengan akalnya, mengubah kepanikan dan drama UGD menjadi kisah feature ringan yang menghibur sekaligus mengharukan.
Sejak saat itu, Fitrah Nusantara dikenal sebagai wartawan magang yang paling piawai mencari ‘fakta unik’ di tempat yang paling tidak terduga, membuktikan bahwa hukum dan hati nurani bisa bersatu dalam liputan jurnalistik. Dan Bos Top, meski tak pernah mengakuinya secara langsung, sering tersenyum sendiri—sambil menyeruput kopi—membaca liputan-liputan Fitrah yang selalu out of the box dan sukses bikin pembaca nangis bombay sekaligus ngakak guling-guling. (Bersambung - Skandal Ceker Ayam Oplosan Berakhir Pilu)