Rangkaian banjir dan longsor besar melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara dalam beberapa hari terakhir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memaparkan kondisi terkini di lapangan, mulai dari akses jalan yang terputus hingga tantangan penanganan di wilayah-wilayah paling terdampak.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto mengatakan sejumlah jalur transportasi di Aceh masih lumpuh total hingga Sabtu (29/11) sore. Salah satu yang paling parah adalah akses menuju Kabupaten Gayo Lues, yang benar-benar terisolasi.
“Kemudian sampai sore ini jalur transportasi darat yang masih terputus, ini masih cukup banyak. Tetap kita upayakan untuk bisa secara bertahap bisa ditembus,” ujar Suharyanto dalam konferensi pers.
Menurut dia, kerusakan terjadi di beberapa ruas utama. Jalan Nasional di perbatasan Sumatera Utara–Aceh Tamiang masih terputus di sejumlah titik dan kini dalam penanganan Kementerian PUPR. Jembatan Meureudu di batas Bireuen–Pidie Jaya ambruk sehingga mengganggu jalur Banda Aceh–Lhokseumawe hingga Aceh Tamiang.
Jembatan Samalanga di Bireuen juga rusak. “Sehingga untuk dari Bireuen aksesnya ada jalan alternatif melalui jalur Trienggadeng–Pidie Jaya dan Samalanga sampai dengan Bireuen,” kata Suharyanto.
Situasi serupa terjadi di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Menurut Suharyanto, sejumlah jalur penghubung antardaerah belum bisa dipulihkan.
“Untuk jalur transportasi Sibolga–Padang Sidempuan, ini sampai sore ini meskipun kita berusaha buka tapi masih belum selesai. Masih terputus dan masih dalam proses pengerjaan karena memang titik longsornya cukup banyak di sepanjang titik itu,” jelasnya.
Lintasan Sibolga–Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara–Tapanuli Tengah juga belum bisa dilalui. Medan jalan yang sempit dan berada di bawah tebing membuat evakuasi material longsor berjalan sangat lambat. Suharyanto menegaskan Sibolga menjadi wilayah paling terisolasi karena akses dari semua arah terputus.
Anggaran AnjlokDi tengah penanganan banjir-longsor yang terus meluas di Sumatera, perhatian publik ikut tertuju pada kapasitas anggaran BNPB. Jika merujuk Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2026, anggaran badan tersebut tercatat menurun dalam lima tahun terakhir.
Pada 2021, saat pandemi COVID-19 masih berlangsung, BNPB memperoleh anggaran besar mencapai Rp 7,1 triliun karena menjadi instansi terdepan dalam respons pandemi. Namun pada 2022 anggarannya merosot ke Rp 5 triliun, lalu naik tipis menjadi Rp 5,4 triliun pada 2023.
Pada 2024, anggaran kembali turun menjadi Rp 4,9 triliun. Outlook APBN 2025 menunjukkan BNPB hanya memperoleh Rp 2 triliun, sebelum kembali dipangkas signifikan menjadi Rp 491 miliar pada RAPBN 2026.
Meski begitu, pos anggaran BNPB tidak berdiri sendiri. Sebagian kebutuhan penanggulangan bencana juga masuk dalam anggaran perlindungan sosial. Pemerintah mengalokasikan Rp 465,1 triliun untuk perlinsos di 2025 dan Rp 508,2 triliun pada 2026.
Pemerintah juga menyiapkan dana cadangan penanggulangan bencana yang dapat digunakan secara on-call pada masa tanggap darurat. Dalam periode 2014-2024, realisasi dana cadangan rata-ratanya sekitar Rp 4,2 triliun per tahun. Pada 2021-2025, pagu dana cadangan ditetapkan Rp 5 triliun, dengan realisasi tertinggi pada 2024 sebesar 106,6 persen atau Rp 5,33 triliun.
Adapun outlook realisasi hingga Juni 2025 berada di kisaran Rp 950 miliar. Selain itu, pemerintah menyiapkan pooling fund bencana serta skema pinjaman kontinjensi sesuai PMK No. 28/2025 untuk memperkuat pendanaan bencana, terutama pada fase respons cepat dan rehabilitasi.