Dermawan di Mata Dunia tapi Lalai di Rumah Sendiri

realita.co • 11 jam yang lalu
Cover Berita

INDONESIA selalu menegaskan citranya sebagai negara dermawan, tetapi citra itu semakin memunculkan rasa miris jika dikaitkan dengan kondisi domestik.

Data konkret memperlihatkan paradoks yang mencolok, bahwa Indonesian AID, lembaga di bawah Kementerian Keuangan, menyalurkan bantuan ke Palestina lebih dari Rp125 miliar dalam tiga tahun terakhir hingga Maret 2025.

Baca juga: Kereta Cepat Jakarta–Bandung, Simbol Kemajuan dan Ancaman Fiskal?

Sementara BAZNAS menghimpun dana zakat, infak, dan sedekah masyarakat sebesar Rp304 miliar, tetapi baru Rp120 miliar yang tersalur, ditambah paket pangan 800 ton yang dikirim pada 2025. Dari perspektif global, angka ini terdengar mengesankan.

Namun, di dalam negeri, bencana alam menimpa Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, menelan korban jiwa, memutus akses pendidikan, dan merusak infrastruktur vital.

Bantuan logistik, ambulans, paket sembako, serta dana pendidikan senilai Rp47 miliar memang ada, tetapi distribusinya tersebar, kurang transparan, dan tidak selalu tepat sasaran.

Sementara kondisi fiskal negara memperlihatkan kontraksi penerimaan pajak dalam APBN 2025. Realisasi neto hanya Rp1.459 triliun dari target Rp2.076 triliun, atau sekitar 70,2%. Pajak penghasilan badan dan pribadi, serta PPN, menunjukkan pertumbuhan negatif.

Dalam konteks ini, pengalokasian dana luar negeri yang signifikan, terlihat seperti pilihan politik elit yang selektif dan strategis, bahwa menonjolkan solidaritas global, sementara kewajiban konstitusional domestic dalam Pasal 27 ayat 2 (hak atas pekerjaan dan penghidupan layak) dan Pasal 28H ayat 1 (hak atas kesehatan dan perlindungan sosial) sering terabaikan (Junaidi, 2020; Karwur, 2024).

Prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam Pancasila terkesan sekadar slogan ketika dibandingkan dengan skala bantuan luar negeri yang spektakuler.

Jika menilik APBN 2026, pemerintah menyiapkan Rp1.376,9 triliun untuk 18 program prioritas. Angka nominalnya massif, yaitu subsidi energi mencapai Rp381,3 triliun, lumbung pangan dan cadangan pangan Rp50,9 triliun, program pendidikan dan bantuan sosial mencapai puluhan triliun.

Namun terdapat selektivitas yang mencolok dan potensi mubazir, bahwa Transfer ke Daerah (TKD) dipangkas 24,8%, meski pemerintah menegaskan alokasi pusat tetap disinergikan. Pertanyaannya adalah apakah dana raksasa itu benar-benar menyentuh warga paling rentan, ataukah menjadi instrumen politik, memberi keuntungan kepada elit birokrasi dan korporasi, sementara masyarakat yang membutuhkan tersisih?

Dari perspektif teori ketimpangan sosial, Pierre Bourdieu menekankan bagaimana modal simbolik, dalam hal ini citra dermawan global seperti menguatkan posisi elit, sementara modal ekonomi dan sosial yang seharusnya membangun kesejahteraan domestik tertahan birokrasi dan prioritas politis (Maclean dan Harvey, 2019; Harvey dkk., 2024).

(Bowles dan Gintis, 1996) dalam tulisanya yang berjudul Efficient redistribution: New rules for markets, states, and communities juga menekankan bahwa pembangunan harus meningkatkan kemampuan dasar warga, bukan sekadar melakukan redistribusi simbolik.

Pada kasus BAZNAS memperlihatkan ironi ini, bahwa dana Rp304 miliar terkumpul, tapi tersalur Rp120 miliar. Prosedur administratif yang lambat, pengelolaan yang tidak transparan, dan ketidaksesuaian prioritas menandakan bahwa solidaritas kemanusiaan, meski niatnya mulia, mudah dimanipulasi oleh logika birokrasi dan kepentingan elit.

Baca juga: Genosida Sunyi di Nigeria dan Buta Selektif Dunia Modern

Situasi ini memalukan dan menjijikkan. Negara yang seharusnya mempraktikkan Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat malah fokus pada pencitraan internasional. Aristoteles menekankan bahwa negara yang baik menempatkan kesejahteraan warganya sebagai fondasi moral sebelum mengekspansi pengaruhnya (Smith, 1999).

Kant akan menyindir tindakan ini sebagai “imperatif kategoris palsu”, yaitu dermawan secara global dijadikan pembenaran moral, sementara warga domestik kehilangan hak dasar atas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial (Kemp, 1958).

Ketimpangan ini makin kentara ketika menelaah bantuan domestic, yaitu helikopter, pesawat angkut, BBM, LPG, paket pangan, unit Starlink dikirim ke wilayah terdampak, namun data moneter tersebar dan tidak terintegrasi. Publik tidak bisa menilai efisiensi atau keadilan alokasi.

Ini menegaskan dugaan bahwa distribusi bantuan lebih dipengaruhi kepentingan elit, yaitu siapa yang mendapat perhatian, siapa yang diabaikan, bukan berdasarkan urgensi kebutuhan konstitusional.

Jika dibandingkan dengan alokasi APBN 2026, terlihat bahwa sebagian besar anggaran justru masuk ke program yang tidak langsung menyentuh warga miskin, yaitu subsidi energi, program koperasi dan investasi, pembangunan infrastruktur berkapasitas besar.

Meskipun program ini penting, proporsinya relatif besar dibanding dana bantuan langsung ke masyarakat terdampak bencana. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis bahwa apakah negara mengutamakan kesejahteraan rakyat atau kepentingan strategis elit dan korporasi, sambil mempertontonkan “kedermawanan global”?

Data dan fakta ini menegaskan paradoks moral Indonesia, bahwa dermawan di mata dunia, tapi lalai di rumah sendiri. Kapasitas fiskal dan solidaritas masyarakat besar, namun politik dan birokrasi mengubahnya menjadi pertunjukan simbolik, selektif, dan sering mubazir.

Dari perspektif Pancasila dan UUD 1945, ini jelas merupakan kegagalan moral dan konstitusional. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung warga, bukan aktor global yang lebih peduli citra daripada substansi.
Jika tidak ada reformasi administratif, transparansi yang nyata, dan prioritas berbasis kebutuhan konstitusional warga, tindakan dermawan Indonesia akan tetap paradoksal, yaitu spektakuler secara nominal, namun menyisakan pahit dan marah di hati rakyatnya sendiri.

Selektivitas elit bukan sekadar salah strategi, tetapi kegagalan etis dan moral yang menyakitkan, menjijikkan, dan memalukan bagi sebuah bangsa yang mengklaim diri berlandaskan Pancasila.

Profil Penulis

Ruben Cornelius adalah salah satu figur muda yang jejak akademiknya berkembang cepat di persimpangan fisika teoretis, komputasi ilmiah, dan analisis politik kontemporer.

Ia dikenal sebagai peneliti yang produktif dengan rekam sitasi yang menunjukkan konsistensi karya ilmiah.

 

Editor : Redaksi


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.