Setiap langkah dari jalur Jayagiri menuju Tangkuban Perahu terasa seperti memasuki panggung teater alam yang siap menampilkan cerita baru. Pinus-pinus tinggi berdiri seperti para penari anggun yang meniupkan aroma getah lembut ke udara, seolah memberi salam hangat kepada siapa pun yang lewat. Cahaya matahari menetes perlahan di antara dahan-dahan, menciptakan permainan bayang yang menghipnotis. Di sela-sela rerindangan itu, barisan kopi muncul bak tamu istimewa yang memilih berteduh di bawah payung hijau pinus. Kehadirannya memberi kejutan bahwa hutan ternyata menyimpan rahasia persahabatan yang tidak disangka banyak orang.
Fenomena kopi yang tumbuh manis di bawah pinus seperti dua sahabat tak terduga yang saling melengkapi. Para pendaki yang baru pertama kali melewati jalur ini kerap berhenti, menatap heran, lalu tersenyum tak percaya. Siapa menyangka tanaman kopi bisa betah di bawah tirai naungan pinus yang tegas? Nyatanya, keduanya membentuk duet agroforestri yang harmonis sebuah simbiosis yang mencerminkan kebijaksanaan alam. Di sini, alam bukan museum diam, melainkan ruang negosiasi tempat manusia belajar bahwa pertanian bisa ramah hutan tanpa harus mengorbankan keuntungan ekonomi masyarakat.
Keindahan harmoni itu tidak tumbuh begitu saja. Selama bertahun-tahun, pengelolaan hutan kerap dipahami sebagai wilayah eksklusif lembaga tertentu, seakan hutan adalah bangunan formal yang hanya dapat disentuh oleh mereka yang berwenang. Masyarakat lokal yang hidup berdampingan dengan hutan sejak nenek moyang mereka sering diperlakukan hanya sebagai penonton. Padahal, sebagaimana dijelaskan Ostrom dalam Governing the Commons (2015), praktik konservasi akan berhasil ketika masyarakat lokal dilibatkan sebagai aktor utama. Mengabaikan mereka hanya membuka peluang bagi praktik tidak ramah lingkungan yang merugikan hutan itu sendiri.
Di Jayagiri, Perhutani berusaha membalik paradigma lama itu. Melalui skema bagi hasil kopi, masyarakat tak lagi dianggap “pengganggu”, melainkan rekan seperjuangan dalam merawat hutan. Bu Siti, salah satu pengelola kopi, menggambarkannya dengan wajah berbinar. Bibit serta pupuk ia terima langsung dari Perhutani, sementara dirinya dan warga lainnya merawat tanaman dengan hati-hati, seperti merawat keluarga sendiri. Ketika panen tiba, hasilnya dibagi dengan formula yang telah disepakati. “Kepercayaan itu modal terbesar,” ungkap Bu Siti, seakan mengajarkan bahwa hutan bukan hanya soal pohon, tapi juga soal hubungan antarmanusia.
Hasil panen menjadi bukti bahwa kolaborasi dapat menghadirkan kesejahteraan tanpa merusak bumi. Di tiga hektare lahan yang dikelola Bu Siti dan Pak Asep suaminya, bisa memperoleh hingga delapan ton kopi basah. Harga jual berkisar empat belas sampai lima belas ribu rupiah per kilogram untuk kopi basah, dan melesat menjadi sekitar seratus ribu rupiah per kilogram untuk kopi kering. Angka itu bukan sekadar statistik. Ia adalah denyut harapan yang memompa semangat masyarakat untuk terus menjaga hutan. Ekonomi berjalan, ekologi terpelihara, dua mimpi yang kerap dianggap mustahil, kini berjalan beriringan.
Secara ilmiah, hubungan kopi dan pinus bukanlah kebetulan alam yang tak dapat dijelaskan. Hairiah dalam Agroforestry untuk Ketahanan Lingkungan (2020) menjelaskan bahwa kopi adalah tanaman yang menyukai cahaya sedang, bukan sinar terik yang membakar. Pinus, dengan kanopinya yang stabil dan lembut, menyediakan naungan ideal yang menjaga kelembapan tanah serta menekan gulma secara alami. Sistem ini memperkuat ekosistem tanpa memerlukan banyak intervensi eksternal. Kombinasi keduanya adalah gambaran kecerdasan ekologis yang sudah lama dipraktikkan masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia.
Teori ekologi hutan juga menegaskan manfaat sistem ini. Muñoz, melalui Forest Ecological Dynamics (2019), menekankan bahwa keanekaragaman vegetasi memperkuat stabilitas ekosistem. Kopi yang tumbuh di bawah pinus bukan sekadar “penumpang”, tetapi aktor penting yang menahan erosi dengan akar-akarnya serta menjaga struktur tanah. Ketika hujan turun dan tanah berusaha kabur menuruni lereng, akar kopi dengan tangkas memeluk bumi dan berkata, “Tetaplah di sini.” Suatu personifikasi kecil, tetapi tepat menggambarkan fungsinya dalam menjaga integritas hutan Jayagiri.
Di sepanjang perjalanan, pendaki tidak hanya dimanjakan dengan pemandangan vegetasi yang berbicara dalam diam. Hutan juga menggelarkan orkestra suara yang menenangkan hati. Burung kacer, kapas tembak, sikatan gunung, pentet, dan kutilang menari dalam harmoni vokal yang saling bersahutan. Dari sudut-sudut pohon, tonggeret meniup terompet halus yang menjadi ritme dasar perjalanan. Kurniawan dalam Ekologi Suara Satwa Hutan (2022) menjelaskan bahwa keberagaman suara satwa adalah tanda ekosistem yang sehat. Maka, setiap kicau yang terdengar sebenarnya adalah pengumuman kecil, “Kami masih hidup, karena hutan ini dijaga.”
Namun, keindahan tidak kebal dari ancaman. Wisata alam yang terus meningkat membawa potensi gangguan terhadap satwa dan jalur hutan. Sampah menjadi musuh paling nyata, menyelinap di antara akar kopi dan dedaunan pinus, seperti luka kecil yang lambat tapi pasti merusak ekosistem. Jika tak dikelola dengan bijak, pariwisata dapat berubah menjadi pedang bermata dua. Di sinilah kita diuji, mampukah kita menikmati keindahan tanpa merusaknya? Sebagaimana diingatkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP, 2023), keberlanjutan wisata hanya bisa dicapai bila pengelolaan lingkungan menjadi prioritas utama.
Salah satu cara mengatasi ancaman tersebut adalah mengubah perjalanan tracking menjadi pengalaman edukatif. Jalur Jayagiri dapat menjadi ruang kelas terbuka, tempat pendaki belajar tentang agroforestri, ekosistem, hingga pentingnya menjaga kebersihan hutan. Papan informasi ditempatkan di titik-titik strategis, memberikan pengetahuan singkat yang mudah dipahami. Model seperti ini terbukti berhasil di beberapa taman hutan kota, yang mana edukasi mampu mengubah perilaku pengunjung secara nyata. Ketika seseorang memahami, ia akan peduli. Ketika peduli, ia akan menjaga.
Perjalanan dari Jayagiri menuju Tangkuban Perahu menyampaikan pesan yang jauh lebih besar daripada sekadar pengalaman mendaki. Ia adalah dongeng modern tentang bagaimana manusia dan alam dapat bekerja bersama tanpa saling menaklukkan, tanpa saling mendominasi. Kopi tumbuh subur di bawah payung pinus, masyarakat memperoleh nafkah tanpa merusak tanah, dan satwa hutan terus bernyanyi sebagai penanda lestari.