FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kritikus sosial, Faizal Assegaf, kembali bicara setelah sebelumnya bersitegang dengan Dokter Tifauzia Tyassuma terkait polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Jokowi.
Faizal menegaskan pentingnya kejujuran dan sikap objektif dalam menyikapi kontroversi yang tengah memanas di publik.
Ia mengingatkan bahwa perdebatan yang saling mengandalkan fitnah dan kebencian tidak akan menghasilkan penyelesaian yang sehat.
“Bila dua kubu berbeda sikap dan saling mengandalkan fitnah, kebohongan, dan kemunafikan, maka jalan terbaik bagi kaum cerdas dan beriman ada di arus tengah,” ujar Faizal di X @faizalassegaf (30/11/2025).
Dikatakan Faizal, kaum intelektual harus menjunjung prinsip klarifikasi dan verifikasi, bukan ikut terseret arus opini tanpa dasar.
“Peneliti, akademisi, kaum agamis, generasi muda cerdas selalu mengedepankan klarifikasi, verifikasi, konfirmasi, tabayun, agar kebenaran informasi dipastikan secara jujur dan benar,” ungkapnya.
Faizal meminta agar perbedaan pandangan tidak dijadikan alasan untuk menghalalkan cara, termasuk menyebarkan kebencian hingga fitnah.
“Sekalipun pihak yang kita anggap musuh, tidak dibenarkan menghalalkan kebohongan, kebencian dan fitnah demi memenangkan tujuan atas dasar kebencian membabi-buta,” katanya.
Ia menyindir pihak-pihak yang menurutnya tampil dengan label agama atau akademisi, namun menyebarkan informasi yang tak diverifikasi.
“Jangan pernah bertopeng agama, klaim peneliti atau akademis tapi faktanya kawanan pengusung informasi bohong tanpa konfirmasi,” tandasnya.
Faizal menegaskan sikapnya tetap konsisten untuk mengkritik siapapun tanpa pandang bulu.
“Sampai saat ini sikap saya tegas mengoreksi siapapun, mau Jokowi, Prabowo atau kawanan oposisi abal-abal,” Faizal menuturkan.
“Saya bertindak atas kejujuran, bukan terjebak membenarkan perilaku munafik dan kebohongan berkedok pejuang,” tambahnya.
Faizal bilang, jika fitnah dan kebencian yang menjadi senjata utama, maka perjuangan akan sia-sia.
“Tak peduli semua media kalian kuasai, bila fitnah dan kebencian yang kalian andalkan, jelas sangat rapuh, tidak solid dan ujungnya kelak penyesalan,” kuncinya.
Sebelumnya, dugaan ijazah palsu Presiden ke-7, Jokowi, kembali memanas setelah aktivis Faizal Assegaf disebut mencurigai adanya pihak yang menjadi dalang di balik isu tersebut.
Bukan hanya itu, pada narasi yang beredar, Faizal meminta agar rekening Roy Suryo Cs dibuka ke publik.
Dokter Tifauzia Tyassuma yang mengetahui hal tersebut merasa tidak terima.
Baginya, tudingan Faizal merupakan fitnah serius dan menyebut akan mempertimbangkan langkah hukum terkait pencemaran nama baik.
“Tudingan Faisal Assegaf sungguh keji dan saya pertimbangkan untuk melaporkan pencemaran nama baik,” ujar Tifa di X @DokterTifa, Jumat (28/11/2025).
Tifa mengaku dirinya terkejut setelah mendengar pernyataan yang menyebut dirinya, Roy Suryo, dan Rismon Sianipar menerima aliran dana dalam perjuangan terkait isu dugaan ijazah Jokowi.
“Atas nama Allah saya bersumpah, tiga hari lalu saya mencermati adanya pernyataan dari Faisal Assegaf bahwa rekening kami harus diperiksa,” sesalnya.
Kata lulusan UGM ini, tuduhan menerima sejumlah uang dan menyebut bahwa perjuangannya dibiayai pihak tertentu merupakan hal yang tidak benar.
“Dengan tenang dan penuh tanggung jawab moral saya nyatakan, klaim tersebut tidak benar!,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada dukungan materi dari pihak mana pun terkait penelitian serta sikap publik yang ia suarakan.
“Tidak ada satu rupiah pun dana dari siapa pun yang saya terima untuk penelitian, sikap, maupun langkah saya,” Tifa menuturkan.
“Jika saya melangkah, itu karena saya memegang prinsip bahwa akademisi memiliki kewajiban moral untuk mencari dan menyampaikan kebenaran,” tambahnya.
Lebih jauh, Tifa menjelaskan bahwa kajian yang ia lakukan bukan bermotif politik, melainkan berbasis keilmuan sesuai disiplin akademis yang ia tekuni.
“Penelitian yang saya lakukan berangkat dari disiplin ilmu Epidemiologi, Ilmu Perilaku, dan Neurosains, yang menjadi ilmu pengetahuan baru bernama Neuropolitika,” imbuhnya.
“Kajian saya bukan berbasis kepentingan politik atau pembiayaan eksternal, melainkan metode ilmiah, literatur, analisis data, dan komitmen akademik,” sambung dia.
Tifa bilang, integritas keilmuan tidak bisa dipengaruhi kepentingan tertentu.
“Kebenaran intelektual tidak dapat dibeli, dinegosiasikan, atau dititipkan. Kebenaran harus ditemukan dengan kerja, diuji dengan data, dan dipertanggungjawabkan dengan integritas,” tandasnya.
(Muhsin/fajar)