Membaca Pidato Prabowo di Hari Guru 2025 melalui Filsafat Pancasila dan Konstitusi

realita.co • 5 jam yang lalu
Cover Berita

PIDATO Presiden Prabowo Subianto pada Hari Guru Nasional 2025 mengumandangkan sebuah imajinasi besar, yaitu digitalisasi sebagai solusi utama bagi seluruh persoalan pendidikan.

Adapun pengiriman layar interaktif ke 288 ribu sekolah, rencana studio terpusat yang menyiarkan guru-guru terbaik dunia, serta target setiap kelas dilengkapi perangkat digital, adalah bagian dari proyek modernisasi yang terdengar megah.

Baca juga: Prabowo Gelar Ratas di Hambalang, Bahas Penertiban Hutan hingga Tambang Ilegal

Namun, dalam bingkai filosofis Pancasila dan Konstitusi, imajinasi itu justru dipahami secara tajam, sebab kemajuan yang dibangun tanpa refleksi bisa melahirkan jenis keterbelakangan baru, yaitu keterasingan, ketergantungan, dan penyeragaman.

Konstitusi memandatkan bahwa negara “mencerdaskan kehidupan bangsa” (Sari, 2023).

Kata kerja mencerdaskan mengandung makna pembebasan batin, pematangan nalar, dan penyadaran manusia sebagai subjek, bukan sekadar meningkatkan kemampuan teknis kelas pekerja global. Ketika Presiden menyampaikan bahwa pendidikan harus digital agar “kita tidak boleh kalah”, logika kompetitif itu berbenturan dengan spirit Pancasila yang menempatkan kemanusiaan dan solidaritas sebagai fondasi.

Pendidikan tidak pernah dimaksudkan sebagai arena balap antarnegara, namun ia adalah ruang pembentukan martabat manusia. Begitulah amanat alinea keempat UUD 1945, yang berbicara tentang “kemanusiaan yang adil dan beradab” sebelum menyebut pembangunan (Wiyono, 2019).

Pancasila, terutama sila kedua dan kelima, menuntut keadilan dan keberadaban. Maka pertanyaannya adalah apakah pemerataan perangkat digital identik dengan keadilan pendidikan? Apakah pengiriman layar interaktif ke titik-titik geografis terjauh otomatis menjamin keadaban pedagogis? Keadilan bukan soal menyeragamkan alat, tetapi menghilangkan hambatan struktural yang membuat sebagian warga bangsa terpinggirkan.

Pemerataan yang hanya berupa distribusi barang adalah pemerataan semu, yang juga ia lebih mirip logika logistik militer ketimbang pembaruan pendidikan.

Digitalisasi tanpa penyetaraan literasi dasar, kesejahteraan guru, dan kebebasan pedagogis hanyalah perayaan modernitas yang permukaannya gemerlap, tetapi dasarnya rapuh.

Ketika Presiden menyebut rencana “studio terpusat” yang menyiarkan pelajaran dari guru-guru terbaik negara maju, ada ironi filosofis yang sulit diabaikan. Model ini tampak efisien, tetapi apa artinya dalam kerangka Pancasila?

Sistem penyiaran pengetahuan terpusat berisiko meniadakan keberagaman budaya, cara mengajar lokal, dan otonomi guru yang dijamin oleh prinsip demokrasi pendidikan. Pancasila bukanlah ideologi homogenisasi, namun ia adalah asas hidup bersama yang menjaga pluralitas (Pare, 2021).

Dalam hal ini sentralisasi pedagogi justru menggeser pendidikan dari roh demokratis menuju mesin distribusi informasi dari pusat kekuasaan. Guru di daerah tidak lagi diposisikan sebagai pencipta makna, tetapi operator perangkat, sekadar penerus suara dari studio di pusat.

Ini bertentangan dengan prinsip Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan sebab pendidikan yang baik harus tumbuh dari kebijaksanaan lokal, bukan dari suara terstandardisasi yang dikirim dari jauh.

Gagasan bahwa “lompatan teknologi” adalah solusi utama mengandung problem epistemologis. (Lazi, orevi dan Gazizulina, 2021) dalam tulisanya yang berjudul Improvement of quality of higher education institutions as a basis for improvement of quality of life mengingatkan bahwa institusi modern sering menjadikan alat sebagai tujuan, dan menganggap peningkatan perangkat sebagai peningkatan kualitas hidup.

Dalam kritik Postman, teknologi selalu membawa agenda terselubung, bahwa ia mendefinisikan ulang apa itu belajar, siapa yang berwenang mengajar, dan bagaimana otoritas dibentuk (Postman, 2011).

Tanpa kesadaran kritis, digitalisasi malah menundukkan pendidikan pada logika teknokrasi, yang juga sebuah logika yang cenderung menyingkirkan aspek kemanusiaan, moralitas, dan konteks sosial yang menjadi ruh pendidikan Pancasila.

Konstitusi menegaskan bahwa pendidikan bertujuan “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”. Watak tidak bisa ditumbuhkan oleh layar. Peradaban tidak bisa disiarkan dari studio pusat. Martabat tidak bisa didelegasikan kepada algoritma.

Semua itu tumbuh dari relasi manusia, yaitu guru yang merdeka, siswa yang berpikir kritis, interaksi yang membangun kesadaran. Jika digitalisasi menggeser posisi guru dari subjek menjadi instrumen, maka negara sedang mengkhianati mandat konstitusionalnya.

Baca juga: Menggugat Kepahlawanan yang Dilumuri Dosa Kemanusiaan

Di titik ini, hal ini bukanlah penolakan terhadap teknologi, tetapi peringatan terhadap bahaya fetishisme teknologi, yaitu keyakinan berlebihan bahwa alat adalah solusi. Pendidikan tidak akan berubah hanya karena kelasnya terang oleh layar modern.

Transformasi terjadi ketika guru diberdayakan, budaya sekolah diperbaiki, birokrasi dipangkas, dan kesenjangan sosial diatasi. Pancasila mengajarkan keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan, bahwa di sinilah letak tantangan digitalisasi, yaitu bagaimana mencegahnya menjadi proyek yang mengagungkan mesin dan mengerdilkan manusia.

Pidato Presiden Prabowo membuka diskursus penting tentang orientasi negara. Apakah digitalisasi akan menjadi sarana pembebasan, sebagaimana cita-cita kemerdekaan, atau menjadi alat baru negara untuk memperluas kontrol dan menyeragamkan proses belajar?

Apakah kita sedang membentuk warga negara yang merdeka, atau generasi yang dibentuk oleh algoritma dan kurikulum terpusat?

Pendidikan dalam semangat Pancasila adalah proses memanusiakan manusia bukan mendigitalkan manusia.
Karena itu, digitalisasi harus dipahami bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai alat yang tunduk pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi kerakyatan, dan penghormatan terhadap pluralitas.

Tanpa itu, seluruh layar interaktif yang dikirim ke 288 ribu sekolah itu hanya akan menjadi ornamen kemajuan, tidak lebih dari etalase modernitas yang tidak menyentuh akar persoalan. Kita berutang kepada guru dan generasi mendatang untuk menjaga agar pendidikan tidak jatuh menjadi proyek politik penuh janji visual tetapi kosong secara filosofis.

Profil Penulis

Ruben Cornelius adalah salah satu figur muda yang jejak akademiknya berkembang cepat di persimpangan fisika teoretis, komputasi ilmiah, dan analisis politik kontemporer. Ia dikenal sebagai peneliti yang produktif dengan rekam sitasi yang menunjukkan konsistensi karya ilmiah.

Karier ilmiahnya bergerak di dua dunia yang jarang bersinggungan, antara lain; fisika relativitas, astrofisika, dan dinamika lubang hitam di satu sisi, serta kajian geopolitik, pertahanan, dan kritik sosial-politik di sisi lain.

Baca juga: Dosen Swasta Masih Jadi Kelas Dua dalam Pendidikan Tinggi Indonesia?

Dalam ranah sains, Ruben terlibat dalam riset-riset tentang dinamika partikel di sekitar lubang hitam, struktur ruang-waktu, radiasi nuklir, hingga machine learning untuk klasifikasi sinyal partikel energi tinggi. Ia berkolaborasi dengan banyak peneliti lintas institusi; mulai dari jaringan dosen fisika, insinyur struktur, ahli kelautan, hingga ilmuwan komputasi, yang menunjukkan bahwa orientasi kerjanya memang interdisipliner.

Nama-nama seperti Lulut Alfaris, Arip Nurahman, Ukta Indra Nyuswantoro, Taufik Roni Sahroni, dan berbagai peneliti lain menjadi bagian dari ekosistem kolaboratif yang membentuk karakter penelitian Ruben.

Di luar fisika teoretis dan komputasi, Ruben juga aktif menulis opini publik yang tajam di berbagai media asional, mulai dari Tandaseru.com, Seputar Papua, Tatkala.co, sampai New Guinea Kurir.

Di sini, ia tampil bukan sebagai ilmuwan yang terkurung di menara gading, melainkan sebagai intelektual muda yang menakik isu-isu besar, antara lain; kedaulatan di era AI, geopolitik energi, integritas riset nasional, politik fiskal, hingga tafsir demokrasi substantif.

Narasi opininya sering bernada kritis, kadang pedas, namun tetap ditopang oleh argumen metodologis dan perspektif ilmiah. Tulisan-tulisannya tentang demonstrasi 2025, konflik Venezuela–AS, reformasi BUMN, dan kritik atas iklim riset Indonesia memperkuat reputasinya sebagai pengamat yang independen dan tidak mudah terseret logika politisasi.

Sebagai penulis ilmiah, ia telah menerbitkan puluhan artikel sejak 2022 di berbagai jurnal nasional terakreditasi dan prosiding internasional, dengan rentang tema yang luar biasa luas, antara lain Regge-Wheeler potential, akresi black hole, analisis radiasi nuklir, visualisasi metrik relativistik, machine learning untuk data astronomi, hingga model matematika dalam kosmologi.

Namanya juga muncul di banyak buku dan bab buku, mulai dari filsafat fisika, inovasi pembelajaran abad 21, hingga pengantar relativitas dan kosmologi.

Di tengah keragaman bidang yang ia tekuni, ada satu karakter yang menonjol dan mudah dikenali, yaitu semangat untuk menggabungkan metode sains dengan pembacaan kritis terhadap realitas sosial. Ruben adalah figur peneliti generasi baru yang menolak sekadar menjadi teknokrat pasif, bahwa ia membawa ketajaman fisika ke dalam ranah kritik kebijakan, dan membawa sensitivitas sosial ke dalam riset ilmiah.

Kombinasi inilah yang membuat profilnya unik, yang adalah seorang fisikawan yang tidak hanya mempelajari struktur ruang-waktu, tetapi juga membaca struktur kekuasaan, serta seorang ilmuwan komputasi yang bukan hanya merancang algoritma, tetapi juga mempertanyakan bagaimana algoritma dapat membentuk masa depan kedaulatan manusia.

Editor : Redaksi


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
Cerpen: Senja yang Mengubah Segalanya
• 13 jam yang lalukumparan.com
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.