Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2025 menjadi US$ 2,39 miliar atau sekitar Rp 39,83 triliun (kurs Rp 16.661 per dolar AS). Surplus neraca perdagangan ini menyusut jika dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 4,34 miliar atau Rp 72,31 triliun.
“Neraca perdagangan Indonesia telah mencatat surplus selama 66 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/12).
Kondisi surplus terjadi karena nilai ekspor masih lebih besar dibandingkan impor pada Oktober 2025. BPS mencatat ekspor RI mencapai US$ 24,24 miliar atau sekitar Rp 402,86 triliun dan nilai impor hanya US$ 21,84 miliar atau sekitar Rp 363,88 triliun.
“Surplus pada Oktober 2025 ini lebih ditopang oleh surplus pada komoditas nonmigas yaitu sebesar USD 4,31 miliar (sekitar Rp 71,81 triliun),” ujar Pudji.
Komoditas penyumbang surplus utamanya adalah lemak dan minyak hewani atau nabati, bahan bakar mineral, serta besi dan baja. Pada saat yang sama, neraca perdagangan komoditas migas tercatat defisit USD 1,92 miliar atau sekitar Rp 31,99 triliun dengan komoditas penyumbang defisit adalah minyak mentah dan hasil minyak.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2025 surplus tapi melambat dibanding bulan sebelumnya. Surplus pada periode ini diperkirakan sekitar US$ 3,72 miliar atau sekitar Rp 61,98 triliun yang turun dari bulan sebelumnya yang mencapai sekitar US$ 4,34 miliar atau Rp 72,31 triliun.
“Pelemahan ini terutama karena pertumbuhan ekspor bulanan yang lebih rendah dibanding lonjakan bulan sebelumnya. Sedangkan impor justru pulih lebih cepat,” kata Josua kepada Katadata.co.id.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga memproyeksikan penurunan surplus neraca perdagangan pada periode ini. Perkiraannya, neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2025 hanya sebesar US$ 3,3 miliar atau sekitar Rp 54,98 triliun.
Surplus yang lebih rendah ini mencerminkan pertumbuhan ekspor yang lebih lambat dibandingkan impor secara bulanan. “Ini karena permintaan impor meningkat menjelang periode akhir tahun atau Natal dan Tahun Baru (Nataru),” kata Andry.