EtIndonesia. Saat berusia delapan tahun, dia mengikuti ayahnya pindah dari Shanghai ke New York. Sebelum berangkat, dia selalu membayangkan Amerika sebagai “surga di bumi”. Namun ketika benar-benar tiba, dia baru menyadari— ini adalah awal dari hari-hari sulit.
Karena tidak bisa berbahasa Inggris, dia terpaksa turun kelas dari kelas tiga menjadi kelas satu. Karena diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang diterima orangtuanya, penghasilan keluarga sangat rendah. Dia sering makan sehari kenyang, sehari kelaparan. Di sekolah, dia mengalami diskriminasi rasial dari murid kulit putih—sesuatu yang membuatnya menderita luar biasa.
Namun justru kerasnya masa kecil itulah yang menempa dirinya. Dia tumbuh dengan kepribadian kuat, mandiri, dan berjiwa baja.
Awal Perjalanan: Tak Bersinar, Tapi Tak Menyerah
Setelah lulus dari Queens College, dia memilih langsung bekerja. Dia tidak menyukai sistem pendidikan tradisional Amerika—menurutnya itu hanya buang-buang waktu. Selain itu, nilainya memang tidak bagus. Orangtuanya pun sudah tidak berharap banyak.
Tetap saja, dia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak kalah dari siapa pun.
Tak lama kemudian, dia mendapat pekerjaan sebagai asisten programmer di laboratorium elektronik Universitas Columbia. Walaupun hanya pekerjaan kecil, dia menjalaninya dengan penuh keseriusan dan akhirnya jatuh cinta pada dunia pemrograman.
Setelah belajar dan berlatih keras, dia menguasai keahlian itu. Kemudian dia pindah ke perusahaan Standard Data, bekerja khusus mengembangkan perangkat lunak.
Di sinilah benih besar itu tumbuh: dia ingin menjadi “Bill Gates kedua”.
Kesempatan Emas: Berani Mengambil Risiko
Musim semi tahun 1976 menjadi titik balik hidupnya.
Sebuah perusahaan perangkat lunak besar dari Swiss, CA (Computer Associates), ingin mencari agen di Amerika untuk memasarkan perangkat lunak komputer besar mereka. Namun karena pasar belum pasti, banyak perusahaan menolak bekerja sama.
Dalam situasi itu, dia mengangkat tangan sendiri—mengambil kesempatan yang ditolak banyak orang.
Dia mengajak tiga temannya dan mendirikan CA International Software di Amerika, menjadi anak perusahaan CA Swiss.
Awalnya sangat berat.
Di sebuah kantor kecil di Madison Avenue, Manhattan— yang mereka punya hanya:
- satu papan nama,
- dua komputer,
- dan empat orang.
Untuk membayar sewa, dia bahkan harus kerja sampingan: memasang karpet di ruang istirahat gedung, memasang cermin di lorong, apa saja yang bisa menghasilkan uang.
Namun kondisi sulit tidak memadamkan tekadnya.
Dia melakukan riset pasar, dan menemukan celah emas:
- Microsoft saat itu memang raksasa software,
- tetapi hanya fokus pada sistem operasi PC,
- belum masuk ke software manajemen perusahaan untuk mainframe dan server.
Celah inilah yang dia tangkap cepat. Dalam waktu singkat, CA berhasil masuk pasar dan mendapatkan lebih dari 200 klien.
Empat Tahun Kemudian: Dari “Tak Bernilai” Menjadi Raksasa
Dalam empat tahun, perusahaan itu mulai terkenal di Amerika. Uang sudah mulai mengalir, tetapi dia tidak puas.
Dia sadar: Di dunia IT, kalau bukan menelan orang lain, maka akan ditelan.
Untuk bertahan lama, dia harus menjadi besar dan independen.
Maka dia membuat keputusan berani—bahkan gila: Dia membeli perusahaan induknya sendiri (CA Swiss) seharga 2,8 juta dolar.
Langkah “ular menelan gajah” ini mengguncang New York. Dunia industri terkejut—tidak ada yang menyangka perusahaan kecil yang tak seberapa itu berani membeli perusahaan internasional.
Setahun kemudian, perusahaan berhasil go public. Dan itulah permulaan dari kerajaan software raksasa.
Langkah Besar Berikutnya: Menelan Gajah yang Lebih Besar
Setelah berhasil menelan “gajah” pertama, ambisinya semakin besar. Dengan memanfaatkan saham perusahaan, dia terus mengakuisisi lebih dari 20 perusahaan software terkenal, termasuk:
- Capex
- Uccel
- ADR
- Cullinet
- Online
- ASK Group
Dari perusahaan kecil tak dikenal, CA tumbuh menjadi: Pengembang software terbesar keempat di dunia. Mendampingi Microsoft sebagai raksasa industri teknologi global.
Siapakah Dia?
Dia adalah Wang Jialian (Charles Wang), pendiri Computer Associates (CA), yang dikenal sebagai “IT Iron Man”.
Walaupun hartanya tidak sebesar Bill Gates, namun setiap kali orang menyebut nama para tokoh besar dunia teknologi, nama Charles Wang selalu disandingkan dengan Gates.
Pesan Moral: Jika Berani Bermimpi Besar, Ular Pun Bisa Menelan Gajah.
Kisah Charles Wang menunjukkan:
- asal punya ambisi,
- berani menghadapi tantangan,
- tidak takut memulai dari nol,
- dan berani mengambil risiko besar,
maka seseorang bisa menciptakan keajaiban— bahkan jika dia datang sebagai imigran miskin yang pernah dilecehkan, diremehkan, dan diabaikan.
Kesimpulan:
Tidak peduli dari mana kamu berangkat, yang penting seberapa besar keberanianmu melangkah.
Beranilah bermimpi seukuran langit. Karena kadang— dunia justru milik mereka yang berani melakukan hal yang tak mungkin. (jhn/yn)