JAKARTA – Pemerintah Indonesia tak kunjung menetapkan status bencana nasional menyusul rentetan musibah alam di Sumatra. Padahal menurut gambaran di media sosial, situasi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh luluh lantak akibat banjir bandang dan tanah longsor.
Pemandangan tak mengenakkan terjadi di media sosial Tanah Air dalam beberapa hari terakhir. Kisah memilukan ini datang dari Sumut, Sumbar, dan Aceh yang diterjang bencana alam banjir bandang serta tanah longsor.
Akibat bencana tersebut, akses jalan dan komunikasi terputus, demikian pula dengan listrik yang ikut padam. Beberapa daerah terisolasi, korban selamat mengalami kelaparan karena bantuan tak kunjung datang. Bahkan menurut kabar terkini, beberapa warga terpaksa menjarah minimarket demi bertahan hidup.
Akan tetapi hingga sekarang pemerintah belum menetapkan status bencana nasional.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan, kondisi mencekam memang terlihat di media sosial, tapi kondisi terkini di lapangan tidak demikian. Ia menjelaskan sejauh ini bencana di Indonesia yang pernah ditetapkan sebagai bencana nasional adalah pandemi COVID-19 dan Tsunami Aceh 2004.
Warga berjalan melintasi sungai dengan jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). (ANTARA/Yudi Manar/bar/pri)"Kita tidak perlu diskusi panjang lebar ya, yang dimaksud dengan status bencana nasional yang pernah ditetapkan oleh Indonesia itu kan COVID-19 dan Tsunami 2004. Cuma dua itu yang bencana nasional. Sementara setelah itu banyak terjadi bencana gempa Palu, gempa NTB kemudian gempa Cianjur bukan bencana nasional," ujar Suharyanto dalam konferensi pers.
Bantuan Pemerintah Belum CukupMenurut laporan BNPB pada Minggu (30/11/2025), korban meninggal di Provinsi Sumatra Utara sebanyak 166 orang meninggal dunia. Selain itu 143 orang lainnya statusnya masih dinyatakan hilang. Daftar wilayah yang terdampak bencana terbesar di Sumut adalah Kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Kota Sibolga.
Sementara di Aceh korban meninggal berdasarkan laporan BNPB adalah 47 orang. Sebanyak 51 warga dinyatakan hilang dan delapan mengalami luka-luka. Jumlah pengungsi di Aceh mencapai 48.887 dengan titik lokasi pengungsian berada di Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.
Di Provinsi Sumatra Barat BNPB mencatat 90 orang meninggal dan 85 warga lainnya masih dinyatakan hilang, sedangkan 10 mengalami luka-luka. Korban paling banyak berasal dari Kabupaten Agam. Sedangkan jumlah pengungsi di Sumbar adalah 11.820 Kepala Keluarga atau sekitar 77.918 jiwa.
Titik lokasi pengungsian berada di Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam, Sumbar, mencatat warga yang mengungsi di wilayahnya adalah sebanyak 4.000 orang.
Di tengah situasi ini, masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah perlu menetapkan status darurat bencana nasional. Pertanyaan ini mencuat seiring luasnya dampak bencana Sumatra yang mengakibatkan puluhan infrastruktur rusak, rantai logistik terganggu, ribuan orang harus mengungsi.
Berdasarkan dokumen BNPB berjudul “Pedoman Penetapan Status Darurat Bencana”, ada tiga tingkatan status keadaan darurat bencana, yaitu bencana kabupaten/kota, bencana provinsi, dan bencana nasional.
Foto udara warga melintas di permukiman Jorong Kayu Pasak yang rusak akibat banjir bandang di Nagari Salareh Aia, Palembayan, Agam, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). (ANTARA/Wahdi Septiawan/foc/pri)Status bencana nasional merupakan kondisi yang ditetapkan pemerintah pusat ketika suatu bencana dinilai berdampak sangat luas dan melampaui kemampuan pemerintah daerah dalam penanganannya.
Dengan kata lain memang tidak semua bencana yang terjadi di Indonesia berstatus bencana nasional. Status bencana nasional merupakan kewenangan Presiden Republik Indonesia, berdasarkan rekomendasi BNPBB dan kementerian/lembaga terkait.
Hingga saat ini pemerintah terus menggencarkan penyaluran bantuan untuk korban bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumbar, dan Sumut. Distribusi bantuan dilakukan dengan menggunakan berbagai moda transportasi.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, melalui keterangan tertulis, mengatakan, pemerintah telah mengirim 28 helikopter ke lokasi bencana yang ada di tiga provinsi tersebut.
Selain mengirim bantuan, operasi pencarian dan penyelamatan juga masih dilakukan di wilayah terdampak bencana. Namun, bantuan yang dikirim pemerintah dinilai belum cukup.
Kewajiban NegaraPeneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas hukum Universitas Andalas, Beni Kurnia Illagi mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan status bencana nasional di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Melalui status tersebut, pemerintah dapat memastikan ketersediaan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penanggulangan bencana secara adil dan merata.
Beni menegaskan, penetapan status bencana nasional dapat merepresentasikan kehadiran negara di tengah berbagai kebijakan pemerintah pusat yang meminggirkan pemerintah daerah dalam banyak hal.
Beberapa hal yang dimaksud Beni di antaranya pengambilalihan hampir seluruh perizinan sektor strategis di daerah dan pengalihan berbagai kewenangan pajak dari daerah ke pusat. Selain itu, anggran transfer ke daerah (TKD) juga dipangkas hampir Rp700 triliun di tahun ini, yang sebagian besar merupakan pengeluaran wajib (mandatory spending) untuk menggerakkan layanan dasar masyarakat.
Helikopter Caracal H225M TNI Angkatan Udara menyalurkan paket bantuan untuk korban banjir bandang dan longsor di wilayah Sibolga, Sumatra Utara, Jumat (28/11/2025). (ANTARA/HO-Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara)”Pemotongan hampir 15 persen anggaran penanggulangan bencana nasional tahun 2025 yang juga merupakan mandatory spending menunjukkan adanya prioritas kebijakan nasional yang tidak selaras dengan meningkatnya risiko bencana di Indonesia,” ujar Beni.
Sumatra, kata Beni, menyumbang sekitar 25 persen dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Karena itulah jika presiden tidak menetapkan status bencana nasional, keberpihakan pemerintah pusat kepada daerah makin dipertanyakan.
”Dalam konteks konstitusi, negara memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk seluruh tumpah darah Indonesia. Bencana alam adalah persoalan kemanusiaan, bukan sekadar administratif. Karena itu, negara seharusnya menjalankan kewenangan extraordinary secara cepat dan proporsional,” Beni menjelaskan.
Bukan Soal Jumlah KorbanSementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah ikut mengomentari belum ditetapkannya status darurat bencana nasional di Sumatra. Menurut dia, pemerintah daerah masing-masing masih sanggup menangani bencana di wilayahnya.
Jika mengacu pada kriteria status darurat nasional, menurut Trubus sebuah daerah harus dinyatakan lumpuh terlebih dulu sebelum pemerintah pusat menetapkan status tersebut. Saat pemerintah dari kabupaten/kota menyatakan sudah tidak mampu menghadapi bencana, mereka menyerahkan penanganan kepada provinsi.
"Provinsinya yang mengkaji, betul enggak seperti itu? Kalau memang provinsi mengatakan sudah enggak mampu sama sekali, seluruh wilayah Sumatra lumpuh total. Nah, dia menyerahkan kepada pemerintah pusat, mengusulkan," tutur Trubus.
"Kalau tidak ada itu, ya memang urusannya pemerintah daerah. Dulu di Yogyakarta dan Palu juga sama. Di Yogyakarta itu bencananya di kabupaten/kota, di Bantul, Sleman, tapi yang menangani ya Kabupaten Sleman dan Bantul. Terus kalau ada yang enggak mampu, baru provinsi ikut nimbrung menyelesaikan," ia mengimbuhkan.
Trubus juga menegaskan, status darurat bencana nasional tidak ditetapkan berdasarkan berapa jumlah korban, melainkan apakah suatu pemerintahan sudah lumpuh atau belum.
"Ini bukan masalah jumlah korban. Yogyakarta dulu sampai 6.000 korban meninggal, tapi itu enggak ditetapkan nasional. Karena Pemprov DIY masih bertanggung jawab. Tugas pemerintah pusat itu memfasilitasi bantuan-bantuan. Bantuan dari TNI dan Polri, masyarakat juga bantu semua," pungkas Trubus.