Hi!Pontianak - Ketua Dewan Pimpinan Cabang Persatuan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPC PAPDESI) Kabupaten Sintang, Akon kritik keras Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Pengalokasian, Penggunaan, dan Penyaluran Dana Desa Tahun Anggaran 2025. Aturan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan persoalan serius di tingkat desa, khususnya terkait Pasal 29B Poin 4 yang membuka peluang tidak disalurkannya Dana Desa, termasuk Dana Non Earmark, apabila desa tidak memenuhi ketentuan tertentu.
Akon menilai, ketentuan ini semakin mengurangi kewenangan desa dalam menentukan prioritas pembangunan yang sebelumnya diputuskan melalui Musyawarah Desa. Ia menegaskan bahwa forum tersebut semestinya menjadi dasar utama dalam pengambilan kebijakan anggaran di tingkat desa.
“Musyawarah Desa adalah roh dari demokrasi desa. Jika keputusan tertinggi ini tidak lagi diperhatikan dalam proses penyaluran dana, maka pemerintah sejatinya telah mengabaikan hak desa dalam menentukan arah pembangunan,” tegas Akon, Senin 1 Desember 2025.
Lebih lanjut, Akon mengingatkan munculnya dampak sosial akibat perubahan skema penyaluran dana desa tersebut. Dana Non Earmark selama ini digunakan untuk membiayai operasional desa, termasuk pembayaran honorarium lembaga desa, insentif kader, dukungan kelembagaan masyarakat, serta berbagai kegiatan yang telah disepakati melalui APBDes. Jika dana tidak tersalurkan, masyarakat berpotensi salah memahami kondisi yang terjadi dan menilai kepala desa tidak menjalankan kewajibannya, padahal kendala berasal dari perubahan regulasi.
Dampak kebijakan tersebut sudah dirasakan secara langsung di Kabupaten Sintang. Dari total 391 desa, sebanyak 283 desa tidak menerima Dana Non Earmark pada tahun anggaran berjalan.
“Situasi ini memukul stabilitas sosial desa. Banyak desa menghadapi tekanan dari masyarakat karena honorarium lembaga kemasyarakatan tidak bisa dibayarkan. Pemerintah harus menyadari bahwa perubahan aturan seperti ini bukan hanya angka, tetapi membawa dampak langsung bagi harmoni sosial,” ujarnya.
Selain persoalan teknis, Akon juga mengkritik kebiasaan pemerintah pusat yang menerbitkan regulasi di penghujung tahun anggaran. Pada saat bersamaan, pemerintah desa telah menyusun APBDes, menetapkan program prioritas, serta menyepakati pembiayaan melalui Musyawarah Desa.
“APBDes disusun melalui tahapan yang panjang dan sesuai anggaran masuk. Ketika aturan baru muncul di penghujung tahun, APBDes menjadi terganggu dan desa dipaksa menyesuaikan sesuatu yang sebenarnya sudah selesai direncanakan,” jelas Akon.
Menurutnya, pemerintah pusat, khususnya Kementerian Keuangan, perlu melakukan kajian menyeluruh sebelum menerapkan kebijakan yang berdampak langsung pada desa. “Kami berharap Menteri Keuangan tidak terburu-buru membuat aturan tanpa melihat kondisi di lapangan. Desa memiliki karakteristik dan kemampuan yang berbeda-beda. Perubahan regulasi mendadak tanpa kajian merugikan desa dan menciptakan ketidakpastian anggaran,” tambahnya.
Akon menegaskan bahwa PAPDESI Kabupaten Sintang berdiri bersama kepala desa dan masyarakat dalam memperjuangkan keadilan fiskal bagi desa.
“Desa adalah ujung tombak pembangunan. Jangan biarkan hak desa hilang hanya karena regulasi yang tidak mempertimbangkan kondisi nyata. Kami mendorong pemerintah untuk mendengar suara desa, agar kebijakan berjalan adil, manusiawi, dan sesuai semangat Undang-Undang Desa,” pungkasnya.