Dari Bambu Hingga Kain Mori: Kisah Ngadiyakur Merawat Tradisi Payung Lukis

kumparan.com
4 jam yang lalu
Cover Berita

Di sebuah rumah kecil di Desa Juwiring, Klaten, tradisi pembuatan payung lukis tetap hidup berkat Paguyuban Ngudi Rahayu yang berdiri sejak 2013 atas prakarsa Ngadiyakur (54). Dari ruang kerjanya yang sederhana, Ngadiyakur bertekad mengembalikan kejayaan kerajinan payung lukis yang pernah hampir hilang dari kampung tersebut.

“Kalau bukan kami yang menjaga, siapa lagi? Tradisi ini sudah menjadi bagian dari kehidupan warga,” ujar Ngadiyakur.

Bagi Ngadiyakur, payung lukis adalah warisan turun-temurun dalam keluarganya. Sejak kecil, Ngadiyakur sering memperhatikan kakek merampungkan payung untuk aneka keperluan adat. Kebiasaan itu menumbuhkan keterikatan kuat sampai muncul rasa wajib untuk melanjutkan tradisi keluarga. “Dari dulu saya sering melihat prosesnya. Rasanya saya harus meneruskan amanah leluhur,” ungkapnya. Kerajinan tersebut telah lama menjadi jati diri masyarakat Juwiring. “Saya hanya berusaha mempertahankan tradisi yang sudah diwariskan,” tambah Ngadiyakur.

Dalam kegiatan sehari-hari, Ngadiyakur bekerja bersama empat perajin lainnya. Mbah Usup (78) bertanggung jawab pada pembuatan motif tradisional, Mas Alfian (33) merakit badan payung, sementara kerangka payung dibuat oleh Pak Iswanto (47) menggunakan bambu petung dan bambu wulung yang terkenal kokoh namun tetap lentur. Bagian tudung payung dibuat dari kain mori, bahan yang mudah menyerap warna dan sangat sesuai untuk proses melukis payung tradisional.

Setiap tahap pengerjaan dilakukan secara manual, mengandalkan keterampilan tangan dan ketelitian tinggi. Dalam dua hingga empat hari, satu payung bisa diselesaika mulai dari perakitan bambu, pemasangan kain, hingga pelukisan motif khas Jawa.

Payung lukis dari Juwiring bukan sekadar benda dekoratif. Produk lokal ini memiliki kedudukan penting dalam budaya Jawa, seperti digunakan dalam upacara adat, kirab budaya, hingga ritual kematian sebagai simbol penghormatan bagi leluhur. Permintaan datang dari berbagai daerah, mulai dari Klaten, Yogyakarta, Jawa Timur, sampai Bali, terutama untuk kebutuhan upacara dan kegiatan seni.

Sebagai pemilik dan penjaga tradisi, Ngadiyakur menegaskan bahwa kesetiaannya pada kerajinan payung lukis tidak hanya berkaitan dengan penghasilan. “Payung lukis adalah napas budaya kami. Selama tangan saya masih kuat memegang kuas, saya akan terus membuatnya,” tutur Ngadiyakur. Dari ruang kerja sederhana itu, tradisi payung lukis tetap dirawat agar tidak terhapus oleh perubahan zaman.

Rizky Muhammad Bintang, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prodi Ilmu komunikasi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
Mendagri Instruksikan Pemda Siaga Bencana dan Nataru
• 1 jam yang lalumetrotvnews.com
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.