Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Sejak masa ketika pelabuhan-pelabuhan Nusantara ramai dikunjungi pedagang asing, orang Bugis telah menjadi salah satu kelompok yang paling menonjol dalam dunia pelayaran dan perdagangan.
Mereka dikenal sebagai pelaut ulung yang mampu menjelajah jauh melintasi perairan Asia Tenggara hingga India, Filipina, Irian Timur, dan bahkan Australia. Catatan lama dari Tome Pires dan Valentijn menggambarkan betapa hebatnya kemampuan navigasi dan perdagangan orang Bugis, yang pada masa itu dianggap sebagai kelompok yang sangat aktif dan berani mengarungi laut.
Ketika Makassar berkembang menjadi pusat perdagangan besar di kawasan timur Nusantara—sebuah pelabuhan yang bebas dari aturan VOC—orang Bugis mendapatkan ruang luas untuk memperkuat posisi mereka sebagai pedagang dan pelaut.
Mereka memegang peranan penting dalam perdagangan rempah-rempah, menjadi pemain utama dalam perdagangan tripang dari Australia Utara dan Irian Timur, serta membawa beras dari Sumbawa untuk dijual di berbagai pelabuhan.
Laut bagi mereka bukan sekadar jalur transportasi, melainkan mata pencarian yang lebih disukai daripada bercocok tanam.
Namun, kedudukan orang Bugis dalam perdagangan tidak selalu mulus. Ketika hubungan mereka dengan Makassar memburuk akibat ekspansi kerajaan Gowa, kegiatan perdagangan mengalami gangguan besar.
Banyak pedagang Bugis tidak lagi leluasa singgah di Makassar, sehingga sebagian memilih meninggalkan kampung halaman untuk mencari pelabuhan perdagangan baru.
Dalam situasi ini, mereka menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, mulai dari Kutai, Samarinda, Sumbawa, Palembang, hingga Banten.
Monopoli ketat yang dilakukan VOC setelah jatuhnya Makassar semakin menekan kegiatan dagang mereka. Banyak pedagang Bugis merasa terkekang karena akses perdagangan internasional dibatasi. Sebagian lalu membentuk jaringan perlawanan melalui aktivitas yang oleh Belanda disebut perompakan, tetapi pada masa itu dipandang sebagai strategi ekonomi dan bentuk persaingan dagang yang wajar.
Kapal-kapal Bugis yang cepat dan tangguh sering kali mampu mengimbangi bahkan mengalahkan kapal penjaga Belanda. Selama hampir dua abad, kegiatan ini menjadi gangguan serius bagi VOC dan sekaligus menjadi bagian dari dinamika perdagangan maritim orang Bugis.
Di tempat-tempat perantauan, orang Bugis kembali menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola perdagangan. Di Kutai dan Samarinda, mereka mendirikan perkampungan otonom yang mengatur sendiri kegiatan dagangnya.
Para bangsawan Bugis membentuk wadah kepemimpinan lokal untuk mengatur keamanan, menampung pendatang, menyediakan bantuan dagang, hingga mengawasi peraturan pelabuhan. Kehadiran mereka sering membuat wilayah itu semakin hidup sebagai pusat aktivitas ekonomi.
Dalam perjalanan sejarahnya, orang Bugis tidak hanya tercatat sebagai pelaut yang berani dan pedagang yang lincah, tetapi juga sebagai kelompok yang mampu memengaruhi arus perdagangan di berbagai wilayah Nusantara.
Dari Makassar hingga Johor, dari Kutai hingga Sumbawa, jejak mereka menunjukkan bahwa aktivitas maritim menjadi fondasi utama yang membentuk identitas, kekuatan, dan peran besar mereka dalam sejarah perdagangan antarbangsa di kawasan ini. (*)




