JAKARTA, KOMPAS – Indonesia kini memiliki Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045. Peta jalan itu dibuat untuk membangun ekosistem sektor hulu-hilir rempah nasional dan mengembalikan kejayaan rempah Nusantara. Enam jenis rempah yang disasar adalah pala, lada, cengkih, kayu manis, vanili, dan temulawak.
Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2025 itu diluncurkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) di Jakarta, Rabu (10/12/2025). Peluncuran itu dihadiri Kepala Bappenas Rachmat Pambudy, Menteri Perdagangan Budi Santoso, dan Deputi Bidang Koordinasi Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa PMK Warsito.
Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Bappenas Leonardo AA Teguh Sambodo mengatakan, peta jalan itu merupakan penerjemahan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Melalui peta jalan itu, pemerintah akan mengintegrasikan eksositem sektor hulu hingga hilir rempah.
Integrasi ini diperlukan lantaran banyak industri hilir rempah nasional kesulitan bermitra dengan petani. Kesulitan itu antara lain berupa menjaga keberlanjutan produksi rempah hingga kekurangpahaman petani terhadap standar dan spesifikasi rempah yang dibutuhkan pasar dalam dan luar negeri.
Jika dikembangkan dan ditopang dengan riset yang baik, ke depan, temulawak bisa menjadi gingseng-nya Indonesia.
Oleh karena itu, Leonardo melanjutkan, hilirisasi itu tidak hanya berfokus pada industri hilir, tetapi juga pengembangan sektor hulu dan tengah rempah nasional. Untuk merealisasikannya, para pemangku kepentingan terkait perlu membuat program-program pengembangan rempah dari hulu hingga hilir yang saling teintegrasi.
“Peta jalan hilirisasi rempah itu akan menyasar pengembangan enam jenis rempah di Indonesia, yakni pala, lada, cengkih, kayu manis, vanili, dan temulawak,” ujarnya.
Bappenas mencatat, pada 2022, Indonesia merupakan negara produsen pala dan cengkih peringkat ke-5 dan ke-4 dunia. Indonesia juga menempati peringkat ke-3 dunia sebagai negara produsen lada, kayu manis, dan vanili dunia.
Leonardo juga mengungkapkan, hilirisasi temulawak sangat menarik. Hal ini lantaran temulawak yang merupakan salah satu jenis tanaman herbal juga diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu.
Perpres ini mengamanatkan perkuatan eksosistem, riset, standardisasi, serta pengembangan dan pemanfaatan tanaman-tanaman herbal untuk industri biofarmaka. Perpres ini menjadi salah satu pijakan dalam penyusunan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045.
“Jika dikembangkan dan ditopang dengan riset yang baik, ke depan, temulawak bisa menjadi gingseng-nya Indonesia,” ungkapnya.
Sementara Warsito menuturkan, rempah tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi bagian dari sejarah, warisan, bahkan identitas dan jatidiri bangsa Indonesia. Dengan mengimplementasikan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045, kejayaan rempah Nusantara bisa dikembalikan.
“Jangan sampai Indonesia kalah dari India, China, Bangladesh, dan Pakistan dalam pengembangan rempah,” katanya.
Warsito juga meminta agar para pemangku kepentingan terkait menjadikan peta jalan itu sebagai pijakan membenahi ekosistem serta rantai nilai dan pasok rempah Indonesia. Selama ini, Indonesia masih banyak mengimpor rempah mentah.
Masih banyak pula importir rempah yang belum terkoordinir dengan baik. Selain itu, banyak petani dan pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) rempah yang perlu mendapatkan dukungan untuk meningkat dan menjaga produksi rempah.
Dalam peluncuran peta jalan itu juga terungkap hilirisasi rempah berpotensi meningkatkan ekspor rempah Indonesia. Bahkan, hilirisasi rempah juga dapat melahirkan Jalur Rempah baru atau yang berbeda dari era prakolonial.
Budi Santoso mengemukakan, selama ini, Indonesia masih banyak mengekspor rempah mentah atau yang belum diolah. Dalam setahun terakir, nilai ekspor rempah Indonesia juga turun akibat penurunan permintan dan peningkatkan produksi rempah di China dan India.
“Ke depan, hilirisasi dapat meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif rempah Indonesia di kancah internasional,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), total nilai ekspor rempah Indonesia pada Januari-Oktober 2025 mencapai 723,24 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,19 triliun. Nilai ekspor ini turun 5,01 persen dibandingkan Januari-Oktober 2024 yang senilai 761,41 juta dollar AS.
Komoditas rempah itu antara lain lada, pala, cengkih, vanili, kayu manis, jahe, dan kunyit. Sebanyak lima besar negara tujuan ekspor rempah Indonesia adalah China, India, Amerika Serikat, Vietnam, dan Belanda.
Budi juga menegaskan, dalam ekosistem rempah nasional, Kemendag berada di sektor hilir. Oleh karena itu, peran utama Kemendag adalah memasarkan produk-produk rempah baik yang berskala UMKM maupun industri besar.
Pemasaran rempah itu dapat dilakukan melalui program UMKM BISA (Berani Invoasi, Siap Adaptasi) ekspor dan Desa BISA Ekspor. Program yang dikhusukan bagi UMKM dan desa yang telah siap ekspor ini akan difasilitasi oleh perwakilan perdagangan Indonesia di negara-negara lain.
“Baik UMKM maupun industri besar, juga dapat menjadi bagian dari program S’RASA (Rasa Rempah Indonesia). Program yang diluncurkan pada agustus 2025 ini mempromosikan kuliner dan rempah Indonesia di kancah global melalui standarisasi dan promosi restoran Indonesia di luar negeri,” kata Budi.
Indonesia diharapkan tidak hanya mengembalikan kejayaan rempah, tetapi mampu melahirkan jalur perdagangan rempah baru.
Sementara, Rachmat Pambudy mengatakan, dahulu, Indonesia memicu kemunculan jalur perdagangan rempah dunia. Melalui penerapan Peta Jalan Hilirisasi Rempah 2025-2045, Indonesia diharapkan tidak hanya mengembalikan kejayaan rempah, tetapi mampu melahirkan jalur perdagangan rempah baru.
Cara-caranya berbeda dan lebih sederhana. Pertama, bisa dengan memanfaatkan program UMKM BISA Ekspor dan Desa BISA Ekspor yang diinisiasi Kemendag.
Kedua, Rachmat melanjutkan, dengan mengintegrasikan rantai pasok restoran-restoran Indonesia di luar negeri. Restoran Indonesia di luar negeri yang hampir tutup digeliatkan kembali dan membuka peluang waralaba restoran Indonesia berekspansi ke luar negeri.
“Kita bisa mencontoh Pemerintah Thailand yang membukakan peluang bagi pelaku kuliner dan restoran untuk berekspansi ke luar negeri. Nah, kita bisa juga melakukan itu dengan menduniakan rumah makan Padang,” katanya.
Thailand memulai jalan gastrodiplomasi dengan program Global Thai pada 2002 dan dikembangkan menjadi Kitchen of the World pada 2023. “Negara gajah putih” tersebut berupaya mengenalkan kuliner khas Thailand, seperti tom yum dan thai tea, ke kancah dunia.
Caranya adalah dengan membangun restoran dan waralaba kuliner khas Thailand di sejumlah negara di dunia. Thailand juga membangun sistem Thai SELECT, yakni sistem sertifikasi yang ketat untuk menjamin keaslian dan kualitas restoran Thailand di seluruh dunia.
Untuk mendapatkan lisensi itu, sebuah restoran harus memenuhi sejumlah syarat. Di antaranya adalah menggunakan bahan-bahan asli Thailand, mempekerjakan koki Thailand bersertifikat, dan 60-80 persen menunya berupa hidangan otentik Thailand (Kompas, 31/8/2025).



