Kyiv: Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan bahwa negaranya “siap untuk menggelar pemilu” apabila keamanan proses pemungutan suara dapat dijamin oleh Amerika Serikat (AS) dan para sekutu lainnya. Pernyataan ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump kembali menuding Kyiv “memanfaatkan perang” untuk menunda pelaksanaan pemilu.
Masa jabatan lima tahun Zelensky seharusnya berakhir pada Mei 2024, namun Ukraina menangguhkan seluruh agenda pemilu setelah memberlakukan darurat militer menyusul invasi Rusia. Menanggapi komentar Trump dalam wawancara panjang dengan Politico, Zelensky mengatakan ia akan meminta penyusunan usulan perubahan hukum yang memungkinkan pemilu digelar.
Ia menyebut pemilu dapat dilaksanakan dalam 60 hingga 90 hari apabila keamanan dapat dijamin oleh mitra internasional.
“Saya meminta sekarang, dan saya nyatakan secara terbuka, agar AS membantu saya, mungkin bersama rekan-rekan kami di Eropa, untuk memastikan keamanan bagi penyelenggaraan pemilu,” kata Zelensky kepada wartawan seperti dikutip BBC, Rabu, 10 Desember 2025.
Zelensky menegaskan bahwa isu pemilu adalah keputusan rakyat Ukraina. “Menurut saya, persoalan pemilu di Ukraina bergantung pertama-tama pada rakyat kami, dan ini adalah pertanyaan bagi rakyat Ukraina, bukan negara lain. Dengan segala hormat kepada para mitra,” ujarnya.
Ia menepis tudingan bahwa dirinya ingin mempertahankan kekuasaan atau menjadi penghalang berakhirnya perang, menyebut narasi tersebut “sama sekali tidak masuk akal.”
Rusia terus mengklaim bahwa Zelensky adalah pemimpin tidak sah dan menuntut pemilu baru sebagai syarat gencatan senjata, sebuah narasi yang juga disuarakan Trump.
Dalam wawancara dengan Politico, Trump mengatakan, “Mereka bicara soal demokrasi, tetapi pada titik tertentu itu bukan lagi demokrasi,” sembari menuding tanpa bukti bahwa Zelensky menjadi hambatan utama bagi proses perdamaian yang dipimpin AS.
Anggota parlemen oposisi Ukraina, Lesia Vasylenko, mengatakan kepada BBC bahwa pemilu hanya akan adil jika seluruh warga Ukraina dapat berpartisipasi, termasuk prajurit yang sedang berada di garis depan.
“Agar pemilu ini adil, seluruh rakyat Ukraina harus diizinkan memilih,” ujarnya di program Newsday BBC World Service. Ia menambahkan bahwa “pemilu tidak pernah mungkin dilaksanakan saat perang,” merujuk pada penangguhan pemilu di Inggris selama Perang Dunia II.
Sejak invasi skala penuh Rusia pada 2022, wacana pelaksanaan pemilu kerap mencuat namun terus ditolak oleh pemerintah, oposisi, dan publik Ukraina yang menilai persatuan dalam menghadapi perang harus menjadi prioritas.
Survei lembaga Kyiv International Institute of Sociology (KIIS) pada Maret menunjukkan sekitar 78% warga menolak penyelenggaraan pemilu bahkan setelah perang benar-benar berakhir.
Dalam komentar kepada BBC, analis kebijakan luar negeri dari Ukrainian Prism, Hanna Shelest, mengatakan bahwa Zelensky “bahkan setahun lalu sudah menyatakan kesiapannya menggelar pemilu begitu kondisi memungkinkan.”
Namun, ia mempertanyakan bagaimana menciptakan kondisi yang diuraikan Zelensky, mengingat terdapat sekitar satu juta personel militer dan empat juta pengungsi yang harus difasilitasi untuk memilih, belum termasuk wilayah yang belum aman serta serangan yang masih berlangsung. “Anda tidak dapat menjamin keamanan tempat pemungutan suara,” katanya.
Baca juga: Trump Desak Ukraina Gelar Pemilu di Tengah Perang dengan Rusia



