Sehari Menjadi Mahasiswi di Kampus Perempuan Fuji University Japan

kumparan.com
1 hari lalu
Cover Berita

Mendatangi kampus Fuji Women’s University di Hokkaido, Jepang pada Jumat sore 5 Desember 2025 yang diselimuti salju tipis, kumparan berkesempatan merasakan langsung suasana belajar di salah satu kelasnya.

Ada sensasi sejenak kembali menjadi “mahasiswa angkatan muda” ketika masuk ke ruang kelas yang dapat menampung sekitar 50 orang. Para mahasiswa sudah lebih dulu duduk rapi, dan siap mengikuti kelas sore itu.

Fuji Women’s University adalah kampus Katolik khusus perempuan. Namun, bukan berarti seluruh mahasiswanya beragama Katolik.

Kesempatan diperoleh ketika kumparan menjadi salah satu bagian dari Program Japan East Asia Network of Exchange for Students and Youth 2025 (JENESYS) yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri Jepang bekerja sama dengan Kantor JICE.

Kantor JICE Jepang mengundang 16 jurnalis dari tiga negara yang terdiri dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia.

Suasana lingkungan kampus terasa tenang, bangunannya bersih, dan kelas-kelas tertata praktis.

Pada kunjungan itu, kumparan berkesempatan masuk ke kelas yang diajar oleh Mia Tillonen, dosen muda asal Finlandia yang sudah hampir satu dekade tinggal di Jepang.

Dengan gaya mengajar yang hangat dan sedikit humor, Mia membuka perkuliahan dengan memperkenalkan dirinya.

“Saya berasal dari Finlandia, dan saya sudah tinggal di Jepang selama hampir 10 tahun,” ujarnya di depan mahasiswa dan rombongan 16 jurnalis.

Dia bercerita menyelesaikan gelar Sarjana dan Master di Finlandia dengan fokus pada Studi Asia Timur—bahasa dan budaya Jepang—sebelum akhirnya pindah ke Hokkaido untuk melanjutkan penelitian di bidang pariwisata.

"Dan baru saja, saya mendapatkan gelar PhD saya. Yay!” katanya sambil tertawa kecil.

Penelitian Mia berpusat pada bagaimana orang memahami agama dalam konteks pariwisata. Ia pernah mengkaji festival, ziarah, hingga situs-situs sakral.

Di kelas ini, ia membawakan pengantar mengenai agama-agama Jepang dan bagaimana situs suci berkembang menjadi tujuan wisata yang sarat makna—bahkan sering kali dipengaruhi budaya populer.

Mia menjelaskan dua agama utama di Jepang: Shinto sebagai agama asli yang berorientasi pada praktik dan tempat, serta Buddha yang datang dari Tiongkok pada abad ke-6 dan berkembang menjadi berbagai sekte.

Dengan cara bertutur yang mudah diikuti, ia menunjukkan statistik jumlah penganut yang kerap lebih besar dari populasi keseluruhan. Fenomena ini terjadi karena seseorang bisa tercatat di lebih dari satu organisasi keagamaan.

Di sisi lain, survei nasional menunjukkan mayoritas masyarakat menyebut diri mereka “tidak beragama”, meski tetap mengikuti banyak ritual dan tradisi keagamaan.

Mia memaparkan bagaimana kuil Shinto menjadi begitu lekat dengan kehidupan sehari-hari mulai dari upacara bayi lahir, perayaan usia 3-5-7 tahun, hingga ritual Tahun Baru.

Jepang sendiri memiliki sekitar 80 ribu kuil. Setiap kuil memiliki spesialisasi doa untuk kesehatan, cinta, bisnis, hingga keberuntungan akademik.

Namun, fokus utama perkuliahan hari itu adalah bagaimana situs suci memiliki lapisan makna yang terus berubah, terutama sejak budaya populer menjadi bagian besar dalam membentuk citra dan narasi sebuah tempat.

Film, anime, maupun gim bisa meningkatkan kunjungan ke kuil tertentu—bahkan mengubah cara kuil menampilkan diri ke publik.

Mia kemudian memaparkan studi kasus yang menjadi fokus tesisnya: Kuil Seimei di Kyoto. Kuil ini awalnya hanyalah kuil lokal yang didedikasikan untuk Abe no Seimei, seorang Onmyoji—semacam astrolog istana—dari periode Heian.

Popularitasnya meroket drastis pada 1990–2000-an setelah Abe no Seimei dihidupkan kembali sebagai karakter tampan dalam novel, manga, hingga film “Onmyoji”.

“Citra Abe no Seimei berubah total dari pria paruh baya menjadi lelaki muda yang cantik,” kata Mia.

Perubahan ini memicu gelombang pengunjung baru, terutama remaja perempuan, yang mulai datang dan menuliskan pesan di papan doa bahjan menuliskan kata “Aku mencintaimu Abe no Seimei”.

Kuil pun beradaptasi mulai dari desain situs resmi yang bernuansa mistis, penggunaan simbol pentagram, hingga instalasi foto dan suvenir bertema Onmyoji.

"Brosur resmi mereka bahkan terasa seperti taman hiburan bertema religius,” kata Mia.

Tidak hanya itu, sebuah gim ponsel populer dari Tiongkok pada 2016 ikut membawa banyak wisatawan asing meski kuil tersebut tidak tampil langsung dalam gim.

Para pemain datang untuk membeli jimat keberuntungan sebelum kembali bermain—menghubungkan dunia virtual dengan situs nyata.

Tren Oshikatsu yakni ziarah penggemar untuk mendukung idola kini juga menjadi bagian dari budaya kunjungan kuil di Jepang.

Banyak kuil merespons dengan menjual jimat khusus penggemar atau menciptakan spot foto Instagrammable. Meski begitu, ada pula kuil yang memilih membatasi wisatawan, seperti Watazumi Shrine di Nagasaki yang menutup akses karena lonjakan turis terlalu besar.

Di akhir kelas, Mia menegaskan banyak kuil kini berada dalam posisi dilematis yakni antara bertahan dengan tradisi atau mengadopsi pariwisata dan budaya pop sebagai strategi untuk tetap relevan di tengah penurunan jumlah penganut dan populasi.

"Pertanyaannya bukan hanya soal agama, tetapi juga bagaimana mereka melihat nilai dan masa depan tempat suci itu sendiri,” tutupnya.

Setelah mengikuti beberapa kelas, kumparan mencoba berinteraksi dengan salah satu mahasiswa yang duduk rapi di barisan tengah bernama Nanae. Dia merupakan mahasiswa yang mengambil studi kebudayaan Jepang di Fuji Women’s University.

Meski masih sangat muda, cara bicaranya tenang dan runtut. Nanae bercerita bahwa dalam satu minggu ia mengikuti sekitar 16 kelas.

Dari semua mata kuliah itu, favoritnya adalah pelajaran yang membahas sastra pada zaman Edo. Di kelas tersebut, setiap mahasiswa memilih satu karya, lalu mengambil satu kata dari karya itu untuk diteliti lebih dalam.

"Saya memilih karya Ihara Saikaku,” ujarnya.

Di balik pilihannya mempelajari budaya Jepang, Nanae menyimpan alasan yang lebih dalam. “Saya mengambil jurusan ini untuk memahami diri saya sendiri,” katanya.

Dia ingin bisa berbicara dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, tapi baginya itu tidak mungkin jika seseorang tidak mengenal dirinya terlebih dahulu.

Studi kebudayaan, bagi Nanae, bukan hanya tentang tradisi dan sejarah, tetapi juga tentang perjalanan pribadi untuk memetakan identitas.

Obrolan berlanjut kepada apa anime kesukaan Nanae. Dia menyebut dua judul yang ia sukai yakni Demon Slayer dan Dandadan. Namun bagi Nanae, anime bukan sekadar tontonan.

"Anime adalah cara yang sangat baik untuk menyampaikan budaya Jepang,” katanya.

Banyak anime, menurutnya, yang diadaptasi langsung dari sejarah dan tradisi Jepang—mulai dari mitologi, nilai keluarga, hingga simbol-simbol spiritual.

Ia mengakui bekerja di industri anime bukanlah hal yang mudah. Hal itu menurut dia menjadi alasan karya-karya tersebut perlu dihargai.

"Anime punya peran besar dalam memperkenalkan Jepang ke dunia,” tambahnya.

Kami pun berkesempatan mengelilingi gedung kampus sebelum berpamitan. Seorang staf mengajak kami menyusuri sejumlah lorong, memasuki perpustakaan dengan deretan buku, lalu berhenti sejenak di sebuah gereja kecil yang berdiri teduh di tengah area kampus.

Tujuan utama dari kunjungan ini adalah JENESYS berharap negara lain seperti Indonesia dapat memahami bagaimana budaya, pendidikan hingga kehidupan di Jepang.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tinjau Lokasi Pascabencana di Sumatera, Baguna PDIP DKI Jakarta Serahkan Bantuan Hingga Dirikan Posko Dapur Umum Hingga
• 6 jam lalutvonenews.com
thumb
Prabowo Perintahkan Praktik Rente Layanan Haji Diberantas, Wamenhaj: Dibersihkan hingga ke Akarnya
• 4 jam lalukompas.tv
thumb
OJK Minta Perbankan Blokir 30 Ribu Rekening Terkait Judi Online
• 11 jam lalukatadata.co.id
thumb
Wagub Banten Minta Warga Tak Pakai Bansos Buat Beli HP, tapi Modal Usaha
• 21 jam laludetik.com
thumb
AS Isyaratkan Langkah Baru untuk Majukan Rencana Gencatan Senjata Gaza
• 23 jam lalumetrotvnews.com
Berhasil disimpan.