Bisnis.com, JAKARTA – Pakar ekonomi mengungkap rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta bakal menekan keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk pedagang kaki lima.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Rizal Taufikurahman mengatakan larangan penjualan rokok memiliki konsekuensi ekonomi nyata bagi UMKM. Sebab, produk tembakau tersebut menjadi kontributor pendapatan di warung kecil.
"Pembatasan ruang merokok dan larangan penjualan (rokok) di area tertentu bisa menurunkan omzet, karena selama rokok ini menjadi penarik traffic pembeli," ujar Rizal dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (10/12/2025).
Menurut dia, Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) membawa dampak langsung bagi UMKM seperti warung, kios, dan pedagang kelontong.
Apalagi, dia melihat pola konsumsi di toko maupun warung dinilai unik, pembeli datang untuk membeli rokok, lalu membeli kebutuhan lain. Jika akses ini diputus mendadak, dampaknya akan sistemik.
"Jika diterapkan, pelaku usaha di zona larangan akan kehilangan sebagian pendapatannya," tuturnya.
Baca Juga
- Pengusaha Hotel dan Restoran Keluhkan Aturan Kawasan Tanpa Rokok, Kenapa?
- Progres Raperda Kawasan Tanpa Rokok Jakarta, DPRD Bahas Sanksi Denda
- DPRD Pastikan Raperda Kawasan Tanpa Rokok Jakarta Tidak Timbulkan Kerugian Ekonomi
Rizal menyarankan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta menyiapkan peta zona resmi, melakukan sosialisasi terbuka, dan akses permodalan. Dia juga mengingatkan bahaya aturan multitafsir yang berpotensi memunculkan pungutan liar.
“Banyak warung berada dalam radius larangan. Tanpa pemetaan akurat, aturan ini bisa memicu konflik horizontal dan resistensi antar pelaku usaha," terangnya.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Ali Mahsun Atmo menyebut sejumlah pasal dalam Raperda KTR berpotensi memukul mata pencaharian jutaan rakyat kecil.
“Perluasan kawasan tanpa rokok ke kuliner rakyat dan pasar rakyat itu tidak ada rasionalitas dan objektivitas. Kalau itu terjadi di Warung Tegal (warteg), warung kopi, Soto Lamongan, los-los, tenda dan sebagainya dilarang merokok, omzetnya langsung anjlok," ujarnya.
Ali juga menagih janji anggota DPRD DKI Jakarta untuk menganulir rencana penerapan pasal-pasal kontroversial yang melarang penjualan rokok.
Dia meminta agar perluasan KTR tidak mencakup warung kuliner dan pasar rakyat, karena hal ini akan langsung memukul sektor UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian informal.
Lebih lanjut, penerapan zonasi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter berikut larangan pemajangan produk di tempat penjualan akani mendorong peredaran rokok ilegal, yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah pusat.
Kebijakan ini dinilai kontraproduktif terhadap tujuan nasional untuk menekan peredaran rokok ilegal. Pasalnya, ketika akses terhadap rokok legal dipersempit, konsumen cenderung mencari alternatif di pasar gelap.
"Dampaknya bukan hanya menggerus penerimaan negara dari cukai, tetapi juga memperumit pengawasan dan penegakan hukum," pungkasnya.



