Lampung Geh, Bandar Lampung - Konsentris.id bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung akan menggelar diskusi publik bertajuk “Mengurai Benang Kusut Oligarki Agraria di Lampung: Kasus Anak Tuha” sebagai bentuk respons atas konflik agraria yang dialami masyarakat adat Marga Anak Tuha di Kabupaten Lampung Tengah.
Diskusi tersebut digelar sekaligus dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), dengan tema “Menegakkan Keadilan di Tanah Leluhur: Solidaritas untuk Marga Anak Tuha.”
Kegiatan ini bertujuan membuka ruang dialog kritis sekaligus mendorong penyelesaian konflik yang adil dan berkelanjutan.
Konflik agraria yang menimpa masyarakat adat Marga Anak Tuha disebut berakar dari janji kesejahteraan yang tidak terealisasi dan berujung pada penguasaan lahan oleh PT Bumi Sentosa Abadi (BSA), yang merupakan bagian dari Sungai Budi Group.
Puncak konflik terjadi pada September 2023, saat terjadi penggusuran paksa yang melibatkan aparat keamanan dan berujung pada perusakan sekitar 1.000 hektare lahan singkong siap panen milik warga.
Peristiwa tersebut tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi besar, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat, bahkan dilaporkan adanya korban jiwa. Hingga kini, masyarakat dari tiga kampung, yakni Negara Aji Tuha, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji, melakukan perlawanan simbolik dengan menduduki lahan dan mendirikan “tenda juang”.
Namun upaya tersebut justru dihadapkan pada proses kriminalisasi, meski warga telah menempuh jalur konstitusional.
Konsentris.id, Hendry Sihaloho mengatakan, konflik agraria di Anak Tuha menunjukkan persoalan struktural yang selama ini terjadi di Lampung.
“Dalam konteks konflik agraria di Anak Tuha ini, semua yang selama ini kami kaji menjadi terafirmasi dan terkonfirmasi. Ada persoalan penguasaan lahan yang tidak adil, ada ketimpangan relasi kuasa antara korporasi dan masyarakat adat,” kata Hendry.
Sementara itu, Direktur LBH Bandar Lampung Prabowo Pamungkas menilai, konflik agraria di Lampung tidak terlepas dari sejarah panjang pemberian izin perkebunan sejak era 1960-an.
“Izin-izin perkebunan di Lampung itu banyak muncul sejak tahun 1960-an. Ini berkelindan dengan pasca pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing di era Soeharto. Itu juga diperkuat dengan lenturnya pemberian izin-izin di kawasan hutan,” ujar Prabowo.
Ia menegaskan, kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab utama terjadinya tumpang tindih penguasaan lahan antara korporasi dan masyarakat adat hingga hari ini.
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Lampung menyatakan tengah menyiapkan langkah penanganan konflik agraria.
Kepala Diskominfotik Provinsi Lampung, Ganjar Jationo menyebutkan, saat ini pemerintah sedang dalam proses pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Konflik Agraria.
“Saat ini Pemerintah Provinsi Lampung sedang dalam proses pembentukan tim satgas konflik agraria,” kata Ganjar.
Melalui diskusi publik ini, Konsentris.id dan LBH Bandar Lampung menargetkan sejumlah tujuan, di antaranya membedah dinamika konflik, dampak sosial-ekonomi, serta aspek hukum dalam sengketa antara masyarakat adat Marga Anak Tuha dan PT BSA.
Selain itu, diskusi ini juga diarahkan untuk mengidentifikasi celah hukum dan dugaan keberpihakan oligarki agraria. (Cha/Put)




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5440196/original/098094500_1765425484-Mobil_MBG.jpeg)
