Student Loan: Memulai Karier dengan Minus, Bukan Nol

kumparan.com
23 jam lalu
Cover Berita

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi jembatan bagi anak bangsa untuk mengubah nasib. Anak petani, buruh, hingga pedagang kecil punya mimpi yang sama: kuliah, lulus, lalu mendapat pekerjaan layak untuk mengangkat ekonomi keluarga. Namun, jembatan itu kini terasa makin sulit dinaiki. Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus naik setiap tahun menjadi tembok penghalang yang nyata bagi banyak keluarga.

Di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak mudah, muncul sebuah fenomena yang cukup meresahkan. Alih-alih menurunkan biaya pendidikan agar terjangkau, solusi yang ditawarkan justru berupa pinjaman dana pendidikan berbunga (student loan) melalui platform pinjaman online (pinjol). Kampus yang seharusnya menjadi tempat paling aman untuk belajar, kini seolah membuka pintu bagi jeratan utang untuk masuk ke kehidupan mahasiswa.

Salah Kaprah Soal "Solusi"

Kerja sama antara institusi pendidikan dengan lembaga keuangan (fintech) untuk pembayaran UKT menandakan adanya pergeseran cara pandang. Mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai peserta didik yang harus dibantu, melainkan sebagai pasar potensial yang bisa diambil keuntungannya.

Seringkali kita mendengar argumen, "Di luar negeri seperti Amerika, utang pendidikan itu hal biasa." Ini adalah perbandingan yang kurang tepat. Kita tidak bisa meniru sistem negara maju tanpa melihat kondisi dompet rakyat sendiri.

Di sana, standar gaji lulusan baru mungkin cukup untuk mencicil utang. Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa upah lulusan baru seringkali stagnan, tidak sebanding dengan kenaikan biaya hidup. Memaksa mahasiswa berutang di tengah ketidakpastian lapangan kerja sama saja dengan menjerumuskan mereka ke dalam masalah keuangan sejak muda.

Beban Mental Sarjana Baru

Jika sistem ini dianggap wajar (dinormalisasi), kita akan melahirkan generasi "Sarjana Tergadai". Bayangkan seorang mahasiswa yang baru lulus usia 22 tahun. Bukannya semangat menata karier atau menabung untuk masa depan, mereka justru memulai hidup dengan "minus" karena harus menanggung utang puluhan juta rupiah.

Dampaknya bukan hanya soal uang, tapi juga mental. Lulusan baru akan cenderung memilih pekerjaan apa saja asalkan "gajinya cepat cair" demi membayar cicilan. Mereka kehilangan kebebasan untuk memilih karier sesuai passion atau idealisme. Akibatnya, kreativitas dan daya kritis anak muda bisa mati karena terhimpit kebutuhan bayar utang. Kita hanya akan mencetak pekerja yang cemas, bukan pemimpin yang berani.

Kembalikan Peran Negara

Pemerintah dan pihak kampus perlu duduk bersama untuk mengevaluasi hal ini. Jawaban atas mahalnya biaya kuliah bukanlah dengan mempermudah utang, melainkan kehadiran negara untuk membantu pembiayaan. Anggaran pendidikan yang besar harus benar-benar dirasakan manfaatnya untuk menekan biaya operasional kuliah, bukan habis untuk urusan birokrasi.

Kampus harus kembali ke tujuan awalnya: mencerdaskan bangsa, bukan berbisnis dengan mahasiswa. Jangan sampai kita membiarkan narasi bahwa "kuliah itu investasi mahal" menjadi pembenaran untuk menyuruh mahasiswa berutang. Pendidikan harus membebaskan manusia, bukan justru mengikat leher mahasiswanya dengan bunga pinjaman.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Bareskrim Polri Bongkar Lab Vape Etomidate di Medan, Bahan dari Malaysia
• 22 jam laluidntimes.com
thumb
Kadin: Kemenkeu Siapkan Insentif Revitalisasi Industri TPT
• 14 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Apindo: 17% Gen Z Menganggur
• 23 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Polisi Ungkap Dugaan Penyebab Kecelakaan Mobil MBG di SDN Cilincing
• 17 jam lalukompas.com
thumb
Cek Link Pengumuman Hasil Seleksi Administrasi PPPK BGN 2025, Ada Namamu?
• 23 jam laludisway.id
Berhasil disimpan.