POLRES Badung mengungkapkan tidak ada bukti yang cukup untuk menjerat sekelompok Warga Negara Asing (WNA) yang membuat konten dengan UU Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Diketahui sebanyak 20 WNA dan 14 WNI diamankan dari studio di Pererenan, Mengwi, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali. Empat orang diamankan, T.E.B. alias BB, L.A.J., I.N.L., dan J.J.T.W. ditetapkan sebagai terlapor.
Pemeriksaan terhadap 30 saksi dan video yang direkam di sebuah hotel di Berawa menyimpulkan kegiatan tersebut diklaim sebagai pembuatan reality show hiburan untuk media sosial, tanpa muatan asusila. Ahli pidana yang dikonsultasikan juga menegaskan unsur pelanggaran belum terpenuhi.
Pemerhati pariwisata Bali yang juga pendiri Hey Bali Giostanovlatto mempertanyakan transparansi kasus tersebut. Fokus beralih ke ranah keimigrasian. Keempat terlapor diduga menyalahgunakan KITAS dan visa wisata untuk kegiatan komersial, yaitu produksi konten yang dapat dimonetisasi. Sebuah mobil pickup bertuliskan “Bonnie Blue” dan “Bang Bus” yang diduga sebagai properti turut disita.
"Jika perkembangan terakhir tidak berubah, kasus ini kemungkinan besar akan berakhir pada deportasi. Namun, di balik tindakan administratif itu, tersimpan pola hukum yang justru menjadi jantung masalah. Mekanisme hukum saat ini hanya mampu 'membersihkan' satu kasus, bukan menghentikan sebuah pola,” tegas Giostanovlatto.
Skenario paling mungkin adalah deportasi dan daftar hitam berdasarkan UU Keimigrasian. Ini adalah sanksi standar untuk penyalahgunaan visa. Skenario hukuman pidana, yang memerlukan bukti pelanggaran UU Pornografi, nyaris mustahil mengingat penyidikan gagal menemukan unsurnya.
“Inilah yang kami khawatirkan sebagai 'sanksi ringan'. Ini bukan akhir, ini awal dari siklus baru,” imbuhnya.
Preseden BerbahayaGiostanovlatto mengungkapkan ancaman terbesar bukan penjara. Tapi siklus yang akan abadi, yakni datang, produksi, ketahuan, dideportasi, lalu digantikan oleh kru baru yang mengetahui konsekuensinya hanya sebatas tiket pulang. Sementara hasil produksinya akan disebarkan di negaranya masing-masing dengan keuntungan yang besar. Bali hanya tempat produksi.
Giostanovlatto, bersama jurnalis lokal, menyatakan rasa kecewa. Mereka telah menyerahkan bukti dan rekaman investigasi aktivitas produksi konten yang dilakukan sangat dekat dengan Pura sejak Agustus. “Pola, jadwal, hingga pergerakan kru-nya terlihat jelas. Tapi waktu itu tidak ada respons berarti. Ketika peringatan diabaikan, para pelaku menganggap semuanya aman," ujarnya.
Ia menegaskan akhir kasus ini berpotensi menjadi preseden berbahaya yang mengirim sinyal salah ke industri global. “Kalau hanya deportasi, itu bukan sanksi. Itu undangan. Industri ini akan datang lagi karena mereka tahu konsekuensinya ringan," ujarnya.
Ketimpangan Narasi: Heboh Penangkapan, Minim BuktiKesenjangan besar muncul antara pemberitaan awal yang masif dengan narasi "penggerebekan konten porno" dan hasil penyidikan yang ternyata minim bukti pidana. Publik, baik lokal maupun internasional, sempat digiring pada asumsi adanya bukti kuat, padahal kenyataannya berbeda. Giostanovlatto menilai situasi ini mencerminkan kegagalan komunikasi dan eskalasi yang tidak proporsional dari aparat.
“Begitu heboh, publik mengira ada tangkap tangan atau rekaman eksplisit. Faktanya tidak ada. Ketika bukti tidak sesuai dengan narasi, reputasi Bali yang dipertaruhkan,” ujarnya.
Kondisi ini pada akhirnya merugikan dua sisi. Kerugian itu citra Bali di mata dunia dan kepercayaan publik terhadap ketegasan aparat.
Kekhawatiran terbesar justru mengarah pada tren yang lebih sistemik. Dua tahun terakhir, Bali telah menjadi latar belakang populer bagi produksi konten independen termasuk dari kreator platform dewasa. Investigasi menunjukkan aktivitas produksi kerap dilakukan di vila privat, bahkan terlampau dekat dengan area suci pura.
“Selama sanksinya lemah, Bali akan terus dipilih sebagai lokasi. Mereka datang, produksi, lalu pulang. Yang tertinggal adalah kerusakan budaya dan hilangnya rasa hormat terhadap ruang suci,” papar Giostanovlatto.
Ruang SakralTanpa regulasi dan penegakan hukum yang tegas dan tepat sasaran, risiko yang mengintai semakin nyata yakni vila-vila dekat pura akan semakin dibidik untuk penyewaan yang tidak transparan.
Ruang sakral dapat masuk tanpa izin ke dalam bingkai konten komersial yang tidak pantas. Pola produksi akan semakin tertutup dan sulit dilacak. Eksploitasi simbol dan ruang budaya akan berlangsung tanpa intervensi yang berarti.
Bagi masyarakat Bali, pura bukan sekadar bangunan. Ia adalah ruang hidup spiritual. Menggunakannya sebagai latar belakang konten yang mengeksploitasi sensualitas bukanlah pelanggaran hukum semata, melainkan pelanggaran terhadap martabat budaya.
Bali kini berada di persimpangan. Pilihan di tangan pemangku kebijakan dan masyarakat, apakah akan membiarkan siklus "datang-produksi-deportasi" terus berulang, atau mengambil langkah tegas untuk merancang regulasi khusus yang melindungi identitas budaya dari eksploitasi, sekaligus memberikan kepastian hukum yang adil. (Z-2)




