Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menelaah isu miring terkait keabsahan pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK. Dari hasil penelaahan tersebut, MKMK tak menemukan adanya pelanggaran.
"Majelis Kehormatan mencermati secara saksama pemberitaan dimaksud hingga saat ini. Namun, tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap Sapta Karsa Hutama yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.," kata Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, dalam jumpa pers, Kamis (11/12).
Palguna memaparkan, isu miring soal pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK ini muncul setelah adanya putusan PTUN Jakarta nomor 604/G/2023/PTUN.JKT. Gugatan ini diajukan oleh Anwar Usman. Berikut amar putusannya:
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
Menyatakan batal Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2023, Tanggal 9 November 2023, tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.
Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 Tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.
Menyatakan mengabulkan permohonan Penggugat untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai Hakim Konstitusi seperti semula.
Menyatakan tidak menerima permohonan Penggugat untuk dipulihkan atau dikembalikan kedudukannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 seperti semula.
Menyatakan tidak menerima permohonan Penggugat agar menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa sebesar Rp100 per hari apabila Tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Menghukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi membayar biaya perkara sebesar Rp369.000.
Menurut Palguna, banyak informasi yang berkembang hanya mengutip sepenggal putusan. Yakni terkait pembatalan Keputusan MK tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK.
"Dalam kaitan ini, Majelis Kehormatan menilai terdapat upaya yang dilakukan secara sengaja untuk menyesatkan alur penalaran yang tertuang dalam amar putusan," jelasnya.
Palguna memaparkan, berdasarkan pertimbangan putusan itu, pengadilan sebenarnya meminta agar MK mencabut Keputusan MK 17/2023.
MK lalu menindaklanjutinya dan membuat Keputusan MK Nomor 8 Tahun 2024. Keputusan itu berisi:
Kesatu: Memberhentikan Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 Tanggal 15 Maret 2023.
Kedua: Mencabut Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 Tanggal 9 November 2023.
Ketiga: Menetapkan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028.
Keempat: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
"Sehingga tidak benar opini yang menyatakan bahwa melalui keputusan tersebut Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. mengangkat dirinya sendiri," tutur Palguna.
"Serta pada saat yang sama tidak terdapat alasan untuk secara hukum meragukan keabsahan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028," lanjut dia.
Adapun gugatan di PTUN Jakarta itu diajukan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman. Gugatan diajukan terkait keberatannya atas penggantian dirinya sebagai Ketua MK. Dia keberatan digantikan dari posisi tersebut oleh Suhartoyo.
Suhartoyo terpilih jadi Ketua MK yang baru setelah Anwar Usman dicopot sebagai pimpinan karena terbukti melanggar etik dalam putusan perkara nomor 90 tentang syarat capres-cawapres.
Anwar Usman dinilai berkonflik kepentingan saat memutus putusan tersebut. Sebab dia adalah paman Gibran Rakabuming Raka. Putra Presiden Joko Widodo itu bisa maju cawapres Prabowo Subianto karena putusan MK yang mengubah syarat capres-cawapres tersebut.
Tak terima dengan putusan itu, Anwar Usman kemudian mengajukan gugatan ke PTUN. Ia mempermasalahkan mengenai posisi Ketua MK. Namun, meski gugatan dikabulkan, PTUN tidak mengabulkan permohonan Anwar Usman untuk kembali menjadi Ketua MK.





