Oleh: Widyawan Setiadi (Jurnalis Harian Fajar)
Tokyo-Hokkaido – Jepang merupakan negara yang dihuni beragam ras, suku, dan asal usul. 3,9 juta imigran ada di sana. Namun mereka seragam dalam keseharian. Disiplin, tertib, dan tenggang rasa yang sangat tinggi
Di Jepang, semua orang sibuk. Tekanan pekerjaan profesional sangat tinggi, bahkan pengangguran pun sebuah pilihan. Bukan tanpa lapangan pekerjaan, tetapi keputusan pribadi.
Senin pagi, 1 Desember. Saya bersama enam jurnalis delegasi Indonesia tiba di Bandara Haneda, Tokyo, Jepang. Ini kali pertama saya menginjakkan kaki di Negeri Sakura, sekaligus pengalaman pertama bertandang ke luar negeri.
Saya (Harian Fajar), Fahmi (Antara Jatim), Naziah (Metro TV), Yessi (Harian Haluan Padang), Heras (kumparan), Emanuel (Bisnis Indonesia), dan Dewi (Bali Post), seragam mengenakan jaket tebal. Suhu 10 derajat selsius seperti menjadi hal langka bagi kami yang berasal dari indonesia.
Dari Bandara Haneda, kami melawat ke kantor Japan International Cooperation Center (JICE) di kawasan Shinjuku, Tokyo, tepat bersebelahan dengan kantor Gubernur Tokyo. Kami mewakili Indonesia dalam program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (JENESYS).
JENESYS adalah program pertukaran pemuda yang diselenggarakan oleh Pemerintah Jepang melalui Kementerian Luar Negeri mereka, untuk mempererat hubungan dengan negara-negara Asia Pasifik, terutama ASEAN.
Mereka menggandeng lembaga Jepang untuk kerja sama internasional dan pelatihan, JICE. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman budaya lintas negara, persahabatan, dan kerja sama melalui berbagai kegiatan seperti konferensi, kunjungan ke universitas, pmerintah, situs budaya, serta program homestay.
Di sana, kami berjumpa dengan empat delegasi asal Malaysia, Rex, Al, Vickson, dan Ammar. Juga lima delegasi dari Thailand, Nam, Earn, Varada, Jean, dan Pethom.
Selama delapan hari di Jepang, kami menemui banyak orang dan banyak hal. Industri media, kerja sama perekonomian dan politik pemerintahan, budaya, kepercayaan, hingga pola hidup orang Jepang, melalui program homestay.
Dalam kunjungan media, kami menemui banyak pengalaman dan hal-hal baru. Mulai dari strategi bertahan, bangkit dari keterpurukan, hingga menjaga tradisi informasi mulai dari usia sekolah.
Di Nippon TV, stasiun brodcasting swasta terbesar di Jepang, mereka bekeja sangat profesional dan disiplin. Hal sama juga kami temui di NHK Broadcasting, televisi swasta terbesar di Jepang.
Begitu juga dengan Hokkaido Simbun, perusahaan media koran (News Paper) lokal yang sangat tersohor. Mereka begitu detail, dan sangat selektif dalam memilah isu dan menyampaikan informasi.
Karyawan perusahaan media di Jepang sangat mencengangkan. Satu perusahaan bisa memiliki lebih dari 1.000 pegawai tetap, ditambah pegawai lepas dan kontributor.
Di sana, mereka sangat terbantu dengan budaya membaca yang sangat tinggi. Bahkan, koran jauh lebih diminati dibandingkn online news. Setidaknya, ada lebih dari empat ribu perusahaan News Paper dan ratusan stasiun broadcasting yang tersebar seantero Negeri Sakura.
Kami juga sempat menemui pemerintah provinsi (Prefektur) Hokkaio. Mereka juga banyak membahas kerja sama antar negara. Bahkan Indonesia menjadi negara ASEAN dengan kontribusi ekspor terbesar Hokkaido, mencapai 48 miliar yen lebih setiap tahunnya.
Dalam hal budaya, di sana didominasi oleh dua kepercayaan, Shinto dan Budha. Sementara sekitar empat persen sisanya merupakan penganut agama lain. Namun di sana, kehidupan sangat rukun, disiplin, dan tidak begitu menyentuh persoalan pribadi.
Selama program homestay, saya bertemu keluarga Bob, pria Ingrris yang menikahi wanita Jepang, Hanae, dan dikaruniai dua putra, Hyu (16), juga adiknya Dan (14). Mereka humble, sangat menyenangkan.
Sebelum Keberangkatan
Selasa siang. 30 September 2025. Tepat pukul 13.56 Wita, ponsel saya berdering, Amrullah Basri Gani menelepon. Dia adalah pemimpin redaksi saya di Harian Fajar. “Berapa usia ta sekarang?” dia langsung menodong. Saya menjawab seadanya, “32 kak”.
Dua menit berselang, dia mengirimkan satu file exel dan dua pdf. Semua tentang JENESYS. Seperti biasanya, dia bersikap dingin dan tidak memberi penjelasan rinci mengenai tiga file itu
“Mohon maaf ini pak, karena waktunya cukup mepet, kami harus mengirimkan data-data calon pesertanya paling lambat tanggal 8 Oktober. Sebelumnya, kami juga ingin menginformasikan salah satu syaratnya adalah wartawan muda antara umur 18-35 tahun (saat program berlangsung) dan belum pernah ke Jepang sama sekali,” ini pesan singkat yang dia teruskan.
Sehari berselang, 1 Oktober 2025, pukul 10.09 pagi, Direktur Utama Harian Fajar, Faisal Palapa, mengirimkan file yang sama kepada saya. Tetapi melampirkan nomor telepon milik staf Kedutaan Jepang. “Komunikasi sama beliau nah,” singkatnya.
Di hari yang sama, pukul 10.41 wita, saya menghubungi kontak terlampir wia whatsapp chat. Namanya Ibu Lia, pihak Kedutaan Indonesia-Jepang. Dia merespon baik dan menjelaskan banyak hal kepada saya mengenai tiga file tadi, termasuk syarat dan dokumen-dokumen yang perlu saya lengkapi.
Pada 30 November malam, saya terbang ke Jakarta. Kemudian pada 1 Desember malam, saya terbang ke Jepang bersama enam delegasi lain, untuk mengikuti Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (JENESYS).
Sepulang Dari Jepang
Sepulang dari jepang kami diberi tugas untuk membuat action plan. Ini harus dilaporkan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan pasca kegiatan. Mulai dari review kegiatan selama di sana, menuliskan dalam bentuk berita, juga mensosialisasikan kepada masyarakat Indonesia mengenai budaya Jepang.
Tugs itu kemudian akan dilaporkan kembali kepada pelaksana, dalam hal ini JICE. Beberapa dari kami juga diminta untuk membat laporan kepada kedutaan melalui Konsulat Jenderal Indonesia untuk Jepang.
Dari JENESYS kita bisa belajar, pada dasarnya semua negara saling membutuhkan satu sama lain. Baik dalam hal hubungan kerj sama ekonomi, politik, mau pun politik.
Hal lain yang dapat kita simpulkan, keberagaman tidak harus membuat kita terpecah belah. Justru kita bisa menekan ego, menghargai satu sama lain, bahkan saling menopang dalam berbagai hal.
Kemudian, tata kelola pemerintahan juga memang butuh dukungan masyarakat. Rasa memiliki dan menghargai budaya sendiri adalah upaya besar untuk menyampaikan kepada masyarakat dunia tentang banyak hal yang kita miliki.
Indonesia memiliki semua potensi tersebut. NDikaruniai sumber daya alam yang melimpah, namun harus ditopang dengan tata kelola pemerintahan dan kebijakan yang tepat, serta peran dan kesadaran masyarakat dalam mendukung hal tersebut.





